Mohon tunggu...
Abdul Azis
Abdul Azis Mohon Tunggu... Seniman - Belajar menulis

Mencoba belajar dengan hati-hati, seorang yang berkecimpung di beberapa seni, Tari (kuda lumping), tetaer, sastra.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Aku Pamit Lebih Awal Sebelum Perasaan Jadi Bandel

24 Oktober 2020   22:40 Diperbarui: 24 Oktober 2020   22:53 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di limit waktu yang paling tegang, kau bertanya "Kenapa harus seperti ini? Kok kayak gitu! Apakah aku ada salah kata? Atau aku buat sesuatu yang tidak disukai?" Tapi, tanyamu kujawab dengan terus terang. Kekagetanmu kutanaikan, walau detak hatimu tetap tidak terima "Tak ada salah apa-apa. Aku hanya mau pamit pergi saja."

Sebelum matamu terlelap menemui mimpi, aku kembali menyodorkan tanya "Apakah kau ikhlas kalau aku pamit pergi?" Butuh jeda aku menanti jawabmu. Aku setia menunggu dengan tenang untuk mengetahui seberapa dalam kau protes untuk menahan diri ini.

Jeda telah berakhir, kau kembali layangkan aku penjelasan "Aku tidak tahu mau bilang apa. Aku tidak ikhlas; intinya tidak ikhlas kau pamit pergi. Karena aku sudah nyaman pada kita yang sama-sama tenggelam dalam cerita. Dan, kenapa tiba-tiba kau mau pamit pergi?"

Aku takut terjebak dengan kenyamanan. Sebab, datangku bukan untuk bermukim di hatimu. Aku hanyalah orang sepi yang ingin berperbanyak teman. Aku tak menaruh harap untuk mengubur kenangan. Karena kau dan aku adalah dua pasang pembeda yang hanya ingin saling terbuka. Dan, nyatanya kita saling terikat, walau tak ada kesepakatan yang memagari raga.

Terkadang, mengikhlaskan kepergian adalah sebuah jalan terbaik. Sebab, memilih bertahan hanya menyembunyikan harapan. Dan, sudah barang tentu banyak rahasia yang menggantungkan keinginan. Banyak kemauan yang lekas ditolak. Karena kita lebih memilih untuk saling tertutup. Sampai, akhirnya kita harus menerima setumpuk resiko, walau hati dan raga belum siap sepenuhnya.

Di akhir kesempatan, kau memberi keterangan. Kau bertahan dengan harapan dan kejelasan. Kemudian kau layangakan rasa yang sulit dibahasakan "Jujur, mataku berat sekali, tapi malah kau mengagetkan dengan kabar buruk. Seolah-olah, aku adalah ketakutan yang selalu bergentayangan memengaruhi pikiran tenangmu. Padahal, aku mau kita seperti yang kemarin-kemarin."

Pada puncak harapan dan tanya yang menggema. Kau sodorkan aku rekaman puisi untuk didengarkan di tengah malam yang begitu hening. Dan, kau kembali menemui mimpi di atas kasur empukmu. Hingga ketidakjelasan tetap menggantung. Rasa pun larut dalam-dalam kelam yang begitu hanyut. Raga menyaksikan wajah-wajah tenang yang tak sedikit pun bergerak.

Kediri, 24 Oktober 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun