"Seperti Hujan Yang Hadir Tanpa Bicara."
Koran Subuh Milik Okto
_________
Seumpama perumpaan tentang sumur tua dan tuan tanpa cerita. Okto merapikan kakinya dengan dingin. Menyampaikan segala doa lalu berlutut pada genggaman coba.
Â
Lentik jarinya memetik satu demi satu berita republik. Berita tentang percobaan bunuh diri yang meriah di kamera publik. Hingga penyumbatan tempat yang hanya di wajibkan untuk pesta Politik.
 Sungguh!!! Sangat menakutkan hidup di negeri di mana bunyi senjata hanya di tabung untuk maling kecil ketimbang maling besar.
.
.
.
Lalu hujan itu malu-malu merambah pundak kota. Spontan lampu jalanan padam. Bunga-bunga setia menadah harapan.
Sementara di persimpangan pelampung pertokoan sepi. Gadis misterius itu setia duduk membiarkan segala bentuk tubuhnya di terpah hujan. Hening bergantungan mengupas ikal rambutnya.
Ia seperti wanita pada kadang yang di kandang duka. Ditendang-tendang batu derita.
Meronta itu kaku. Layu menemani waktu.
" Seandainya aku tahu Oktober kau akan turun. Akan ku simpan sepasang gayung yang pernah kau ayun-ayun pelan "
"Wanitaku, batinku adalah hujan. Pujian dari segala peristiwa Mencintai dan dicintai, tentang engkau yang berjuluk Adiratna"
Kalimat pertama yang ia pecahkan mencium hujan.
" Menemani tak seharusnya menjalani dan tak seharusnya menjalani selalu saling mengenali."
Entah kalimat itu dari siapa, alis lukanya terkupas. Terlepas di atas raga berwajah kapas.
Ini bukan lagi surat. Ini alarm hati yang tiba pada episode tamat.
Okto kemudian menulis di selah-selah hujan.
" Seperti hujan, hujatan, hingga ajakan. Aku ingin melepaskan koran ini lalu berjalan sebentar di lorong tubuh gadis itu. Ingin ku temui tentang apa yang membocori jiwanya. Ingin ku kemas segala yang berserakan di meja pikirannya.
Tapi! Apakah semampu ingin?. Aku hanya lelaki topi koran. Banyak sadar dan mawas diri pada setiap masalah orang lain."
Okto kemudian berhenti.