Pendahuluan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang desa menjadi trending topic akhir-akhir ini. Bukan karena cacat hukum ataupun kesalahan teknis lainnya, melainkan karena secara substansif undang-undang tersebut menarik untuk diperbincangkan. Di dalam pasal 72 ayat (1) poin d disebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan desa adalah dari alokasi dana desa. Alokasi dana desa tersebut merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima oleh Kabupaten/Kota.
Adanya alokasi dana desa ini mampu meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan desa yang akhirnya dapat mengatasi berbagai persoalan yang ada. Namun, yang perlu dikhawatirkan adalah sudah menjadi suatu hal yang lazim jika dalam proses pengelolaan keuangan pemerintah sering terjadi patologi anggaran. Tak terkecuali dalam proses pengelolaan alokasi dana desa yang jumlahnya mencapai 20, 7 Trilliun rupiah dalam APBN-P 2015. Dengan jumlah yang begitu besar, dikhawatirkan penyelewengan alokasi dana desa juga semakin banyak.
Adanya standar operasional dana desa menjadi kunci untuk menekan penyelewengan yang terjadi. Seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014. Peraturan Pemerintah tersebut menjelaskan tata cara pengelolaan dana desa yang baik dan benar. Mulai dari aspek akuntabilitas, transparansi, hingga penyaluran dana desa yang berdasarkan asas keadilan tercantum di dalamnya. Namun, fakta yang ada dilapangan tidak sepenuhnya sesuai dengan peraturan tersebut. Tidak sedikit oknum-oknum pengelola dana desa yang melakukan penyelewengan dana desa. Bahkan ada juga oknum pemerintah Kabupaten/Kota yang terlibat. Selain itu, ada hal yang ganjil pada PP Nomor 22 Tahun 2015 tentang perupahan atas PP Nomor 60 Tahun 2014. Di dalam PP Nomor 22 Tahun 2015 pembagian alokasi dana desa didasarkan pada jumlah desa dengan bobot 90 persen dan hanya 10 persen yang dihitung menggunakan formulasi jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah dan tingkat kesulitan geografis seperti yang tercantum pada PP sebelumnya. Melihat fakta yang ada dilapangan dan PP Nomor 22 Tahun 2015, tentu akan terkesan ‘kurang adil’ dan  merugikan banyak pihak, terutama masyarakat desa yang hakikatnya paling berhak menerima alokasi dana desa. Oleh karena itu, menjadi hal yang penting dan menarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang pengelolaan dana desa yang rawan penyelewengan ini.
Pembahasan
Menurut data yang diperoleh oleh Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK) ada 14 potensi persoalan pengelolaan dana desa. Keempat belas persoalan tersebut terbagi dalam empat aspek, meliputi aspek regulasi dan kelembagaan, aspek tata laksana, aspek pengawasan, dan aspek sumber daya manusia. Dari aspek regulasi dan kelembagaan, adanya perubahan PP Nomor 60 Tahun 2014 menjadi PP Nomor 22 Tahun 2015 memberi dampak yang besar terhadap pengelolaan dana desa. Peraturan tentang pengalokasian dana desa yang 90 persen berdasarkan jumlah desa dan 10 persen berdasarkan variabel yang telah ditentukan dapat menimbulkan ketimpangan antara desa yang satu dengan yang lainnya. Sebagai pemahaman PP Nomor 22 tahun 2015, jika suatu desa memiliki IKG(Indeks Kesulitan Geografis) tinggi tetapi memiliki luas wilayah yang relatif kecil maka akan mendapat dana desa yang kecil. Begitu pula sebaliknya, desa yang memiliki luas wilayah besar dan IKG-nya kecil akan mendapat dana desa yang besar. Dari contoh ini, pengalokasian dana desa berdasarkan PP terbaru terkesan tidak ‘memiliki perasaan’ dan memandang sebelah mata kondisi sosial, ekonomi, dan geografis desa.
Dari aspek tata laksana, persoalan yang terjadi antara lain kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa, stuan harga barang baku yang dijadikan acuan penyusunan APBDesa belum ada, transparansi rencana dan penggunaan dan pertanggung jawaban APBDesa masih rendah, laporan pertanggungjawaban pemerintah desa belum sesuai standar dan rawan manipulasi, dan APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan desa. Pada aspek pengawasan, terdapat tiga persoalan, yakni efektivitas Inspektorat daerah dalam mengawasi pengelolaan keuangan desa masih rendah, saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah, dan ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan camat belum jelas. Sementara itu dari aspek sumber daya manusia, persoalan yang terjadi adalah tenaga pendamping desa berpotensi untuk melakukan korupsi yang memanfaatkan lemahnya pengetahuan aparat desa.
Semua persoalan yang dipaparkan diatas merupakan persoalan mendasar tetapi penting untuk ditindak lanjuti. Semua aktor yang berperan dalam pengelolaan dana desa harus memiliki rasa tanggung jawab dan komitmen yang tinggi. Hal ini ditujukan agar terciptanya good governance ditingkat lokal(desa). Good governance identik dengan transparansi dan akuntabilitas pejabat publik dalam melayani masyarakat. Menurut Elahi dalam artikelnya yang berjudul UNDP On Good Governance ada tujuh syarat terciptanya  good governance yaitu adanya partisipasi publik, berlakunya aturan yang adil dan tidak memihak yang dijamin oleh hukum positif, transparansi dalam semua proses dan lembaga, pemerintah yang responsif, adanya kesetaraan bagi semua masyarakat, adanya efesiensi dan efektivitas dalam semua proses dan lembaga, dan akuntabilitas.
Jika syarat-syarat tersebut dikaitkan dengan pengelolaan dana desa, maka dengan berdasarkan data KPK bisa dikatakan pengelolaan dana desa belum akuntabel dan transparan. Masih banyak permasalahan yang harus dibenahi. Bukan hanya oleh pemerintah pusat, daerah dan desa melainkan juga oleh masyarakat. Peran aktif masyarakat dapat membantu menekan penyelewengan pengelolaan dana desa. Misalnya, masyarakat dapat membentuk Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM) yang berfungsi untuk melalukan pengawasan terhadap aparat desa dan pendamping desa dalam menjalankan tugasnya. Dengan begitu, diharapkan pengelolaan dana desa yang rawan terjadi patologi anggaran dapat dicegah. Sehingga kedepannya dana desa dapat berfungsi sesuai dengan tujuan awalnya, yaitu untuk meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan desa yang ujungnya untuk kesejahteraan masyarakat desa. Di samping itu, good governance juga akan tercipta di pemerintah pedesaan.
Kesimpulan
Pengelolaan dana desa masih memiliki banyak ‘PR’ yang harus diselesaikan. Hal itu dapat dilihat dari data KPK yang menyebutkan masih ada 14 persoalan dalam pengelolaan dana desa. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan adanya rasa tanggung jawab dan komitmen tinggi dari pemeintah dan masyarakat. Selain itu, sinkronisasi antara masyarakat dan pengelola dana desa juga harus terjalin dengan harmonis. Dengan begitu, diharapkan dapat tercipta pengelolaan dana desa yang akuntabel dan transparan. Sehingga implikasinya, akan terwujud pembangunan dan perkembangan desa yang efektif dan efisien. Â