Oleh: Abdan Syakur
A.Mainstream Tafsir al-Qur'an
Secara tegas, ideologi ini merupakan sudut pandang yang sangat memengaruhi cara pemahaman terhadap Al-Qur'an, bahkan hingga ke level praktis.
Meskipun diakui bahwa implikasi ideologi tidak selalu mencapai level praktis, tetapi hanya berada pada level wacana atau pemikiran, namun paling tidak hingga penghujung abad ke-20 terdapat dua ideologi tafsir yang berpengaruh, Yaitu:
1.Interpretasi Substansialis
Terminologi "substansialis" pada dasarnya adalah istilah terbaru untuk menggambarkan konsep "ta'wil" atau metafora sebagaimana yang diutarakan oleh penafsir klasik Al-Qur'an. Seperti yang dimaknai oleh pengertian substansialis, interpretasi metaforis (ta'wil) juga bertujuan untuk menangkap makna substansial dan esensial di balik teks-teks Al-Qur'an yang literal. Aktivitas interpretasi semacam itu dianggap sah karena Al-Qur'an sendiri memberikan legitimasi bahwa seluruh teks Al-Qur'an terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu al-ayat al-muhakamah (teks-teks yang tegas) dan al-ayat al-mutasyabihah (teks-teks yang ambigu) [Q.S. Ali Imran (3): 7].
Menurut Liddle, terdapat empat ciri kunci Islam substansialis, baik di dalam maupun di luar Indonesia. Pertama, substansi dari sebuah keimanan dan prakteknya diutamakan daripada bentuknya. Dalam Islam substansialis, pemahaman literalistik terhadap Al-Qur'an, meskipun dapat memenuhi ritual secara saleh, dianggap tidak lebih baik daripada komitmen moral dan kesalehan sosial yang diamalkan oleh seorang Muslim. Kedua, nilai-nilai universal yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadis perlu digali kembali melalui penafsiran ulang agar tetap sejalan dengan tuntutan modernisasi. Kondisi sosial masyarakat dewasa ini berbeda dengan masyarakat Arab pada zaman Nabi Muhammad, sehingga pendekatan literalistik harus disesuaikan dengan konteks zaman modern. Ketiga, inklusifitas ajaran Islam harus dikedepankan, mengingat pertikaian antar sekte, kelompok, bahkan agama di masa lalu tidak relevan lagi dalam situasi sekarang. Oleh karena itu, dialog dengan agama dan kelompok lain harus dilakukan. Keempat, khusus di Indonesia, bentuk Negara Republik Indonesia dianggap final. Tidak perlu lagi ada perubahan ke arah pembentukan "Negara Islam". Dasar Negara Pancasila dianggap sudah cukup mengakomodir prinsip-prinsip politik ajaran Islam.
Apa yang paling penting dari keempat ciri di atas adalah peralihan - untuk tidak mengatakan meninggalkan - dari interpretasi literal kepada multi-literal (metafora). Muhammad Abduh (1850-1905) dianggap sebagai pendekar tafsir Al-Qur'an yang secara nyata mempraktekkan interpretasi metaforis dalam mengaitkan teks-teks suci dengan situasi kemoderenan.
Sebaliknya, interpretasi Al-Qur'an disampaikan dalam bentuk orasi di depan publik, dan lebih sering melalui siaran radio dan majalah berkala, seperti al-Manar, al-Urwah al-Wutsqa, al-Wa'za wa al-Irsyid, al-Da'wah ila Sabil al-Rasyad. Metode penyampaian ini memungkinkan akses yang lebih luas bagi masyarakat untuk mendapatkan pemahaman baru tentang Al-Qur'an serta memperkuat kesadaran Qur'anik dalam menghadapi tantangan zaman.
2.Interpretasi Skripturalis
Sejak Abad ke-10, masa munculnya tafsir al-Tabari (839-923 M), hingga Abad ke-19, masa Muhammad 'Abduh (1849-1905 M), dapat dianggap sebagai periode yang ditandai sebagai masa normatif karya tafsir. Tafsir-tafsir seperti karya al-Tabari, al-Zamakhshari, al-Razi, dan al-Suyuthi merupakan karya-karya yang secara umum masih mempertahankan orisinalitas argumentasi yang bersumber dari sunnah (hadis) sebagai basis komentar mereka. Berkreativitas dengan menggunakan argumentasi rasional masih terbatas pada masa tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena tradisi intelektual pada masa pasca Muhammad 'Abduh belum mengenal formulasi saintifik yang sistemik sebagai acuan baku pada masa klasik.