Fakta historis menunjukkan bahwa meskipun tafsir karya al-Tabari (w.923 M) dan tafsir karya Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209 M) diakui kebesarannya hingga saat ini, namun mereka belum mewariskan tradisi saintifik yang teruji. Bahkan, tradisi ini justru diteruskan secara hierarkis oleh penafsir-penafsir selanjutnya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa masyarakat Muslim telah "mengkonsumsi" Al-Qur'an setiap harinya tanpa melalui pengujian secara historis.
Kondisi yang massif tersebut terus berlangsung hingga kedatangan Muhammad 'Abduh dengan tafsirnya yang dikenal cukup rasional, yaitu Tafsir al-Qur'an al-Hakim yang lebih terkenal dengan Tafsir al-Manar. Akibat perang salib yang berlangsung selama satu setengah abad (1096-1254 M) dan berujung pada kejatuhan Bagdad sebagai simbol kemajuan Dinasti Abbasiyah ke tangan Hulagu Khan dari Mongol pada tanggal 13 Februari 1258 M, menyebabkan stagnasi dalam kreativitas para penafsir Al-Qur'an dalam menulis karya orisinal mereka. Yang terjadi hanya kegiatan mengomentari (syarh) karya-karya ulama sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Imam al-Zarkasyi (w. 794 H.) dengan karyanya al-Burhan, dan Imam al-Suyuti (1445-1505 M) dengan karyanya al-Itqan. Buku yang menghimpun ratusan pokok bahasan ini merupakan ensiklopedia ilmu Al-Qur'an dari karya-karya serupa sejak munculnya buku Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi (w. 427 H.).
Kontinuitas (taqlidi) dalam tafsir yang cenderung bercorak skripturalis atau formalistik tidak selalu buruk, selama memiliki makna asli (generic), yaitu sebelum menjadi makna teknis dengan makna sekunder seperti yang umumnya dipahami saat ini. Makna taqlid (kontinuitas) dalam arti generik tersebut merupakan sikap penerimaan terhadap suatu postulat yang diyakini memiliki otoritas sebagai akar sejarah dari sebuah tradisi intelektual. Namun, makna negatif dari taklid dapat muncul jika dipahami sebagai pengkultusan terhadap intelektual masa lampau.
Sejalan dengan pandangan di atas, Mohamed Arkoun, seorang pemikir Islam asal Aljazair, berpendapat bahwa jika seseorang memegang kuat rumus pasti (postulate) dan monarkisme intelektual, maka akan bereaksi negatif terhadap interpretasi baru atas fakta-fakta Quranik dan Islam yang berlangsung dalam suatu budaya yang serius melakukan reinterpretasi ulang atas temuan-temuan para sejarawan, sosiolog, dan pakar-pakar linguistik.
Karakteristik lain dari interpretasi skripturalis dan formalistik juga pernah dikemukakan oleh Muhammad Abed al-Jbir, seorang pemikir Muslim asal Maroko, dengan apa yang ia sebut sebagai al-fahm al-turs 'al al-turs (pemahaman tradisional atas tradisi). Ini merujuk pada suatu tradisi intelektual yang pasrah terhadap warisan intelektual masa lampau. Pendekatan semacam ini jelas mengandung sindrom kelemahan, di mana semangat kritis dan kesadaran historis terkikis. Hal ini wajar jika yang muncul kemudian adalah semacam bentuk "tradisi yang mengulang dirinya sendiri," bahkan bisa dalam format yang lebih buruk.
Sebagai contoh, ketika pemikir Islam skripturalis dewasa ini mengikuti penafsiran klasik mengenai kesalehan inklusif tanpa menyertakan pembacaan kritis atasnya, hal tersebut dapat menjadi masalah. Bagi penafsir klasik seperti al-Tabari (w. 923) dan al-Razi (w. 1209), sikap terbuka untuk menerima kebenaran agama lain bagi pemeluknya, atau yang dikenal sebagai "kesalehan inklusif," tidak dianjurkan oleh mereka. Ketika menguraikan pendapatnya tentang ungkapan "hanifan musliman" [QS. Ali Imran (3): 67], al-Tabari, meskipun juga mempertimbangkan beberapa penafsiran yang agak inklusif, tetap menegaskan pendapatnya bahwa agama Ibrahim adalah agama Muhammad (ahl al-Islam), dan bukan agama Yahudi dan Nasrani. Menurut al-Tabari, ayat di atas adalah keputusan dari Allah (qada' minallah) untuk menyelesaikan perselisihan atas klaim orang-orang Yahudi dan Kristen bahwa Nabi Ibrahim adalah penganut agama mereka. Bahkan, pada kesempatan lain, al-Tabari memberikan pengertian yang tegas tentang istilah al-hanafiyah, yaitu sikap konsistensi terhadap syariat Islam (al-istiqamah 'ala al-Islam wa syari'atuh), bukan terhadap agama Yahudi, Nasrani, dan orang-orang musyrik.
Jika mengikuti pendekatan skripturalis seperti yang digunakan oleh kedua penafsir klasik di atas tanpa melakukan pembacaan kritis, maka akan menimbulkan sikap yang eksklusif terhadap kebenaran yang dikandung oleh agama lain. Sikap eksklusif semacam ini akan membatasi pemikiran orang-orang Islam dan kemudian menimbulkan sikap antipati terhadap agama lain di luar Islam, yang selanjutnya dapat menyebabkan konflik dalam kehidupan sosial.
Demikian juga, pemetaan tradisi Islam di Indonesia yang pernah dilakukan oleh Clifford Geertz dan R. William Liddle. Geertz, misalnya, berhasil mengelompokkan budaya Jawa menjadi santri, abangan, dan priyayi, di mana kelompok santri digambarkan cenderung skripturalis dalam kehidupan mereka.
B.Implikasi Tafsir Skripturalis terhadap Radikalisasi Agama
 Menurut Max Weber, ideologi keagamaan memiliki pengaruh yang kuat terhadap berbagai sektor sosial. Jika agama dianggap sebagai ajaran kesucian, maka akan sulit untuk berubah, bahkan dapat memengaruhi aspek lain dalam kehidupan sosial. Sebaliknya, jika agama berhasil dirasionalisasikan, maka akan lebih mudah untuk merasionalisasikan aspek lain dalam kehidupan sosial.
Ada dua pendekatan dalam studi teks-teks keagamaan, yaitu pendekatan normatif dan pendekatan deskriptif. Pendekatan normatif bersifat apologetik, yang berusaha menjelaskan agama dari aspek doktrin, keunggulan sistem nilai, otentisitas teks, dan fleksibilitas ajarannya dalam sejarah dan masa depan umat manusia. Sementara itu, pendekatan deskriptif berupaya menjelaskan secara objektif aspek-aspek historis dari seluruh doktrin penting dalam suatu agama tanpa melibatkan diri dalam menilai kebenaran-kebenaran yang diyakini oleh pemeluknya.