Dan mereka mesti realistis: menerima dengan hati yang lapang bahwa suami mereka bukan anggota dewan yang sehari-hari duduk manis, asyik berdebat dan berwacana saja, tapi gajinya puluhan juta rupiah.
[caption id="attachment_218880" align="aligncenter" width="213" caption="sumber foto: tkit-tpqbaitulaini.blogspot.com"][/caption]
Perempuan-perempuan itu selalu begitu adanya. Seragam yang sama, rutinitas yang tak berbeda. Setiap hari. Kadang pagi, kadang di siang yang begitu terik, kadang juga di saat senja mulai menua. Selalu demikian: menyisir sampah, memungutnya, membersihkan puing-puing yang tak pernah sepi di komplek perumahan orang-orang yang katanya “elit” itu.
Tentu saja, saya tidak mengenal mereka secara dekat. Tapi saya tahu asalnya: penduduk kampung yang tinggal di pinggiran komplek, yang bisa jadi tanahnya dulu “dipaksa” pengembang untuk dijual, yang sekarang membuat mereka “terpaksa mengais” rupiah di tepi-tepi jalan dan taman-taman kompleks itu. Atau, barangkali, mereka memang betul-betul tidak berkecukupan, dimana nafkah para suami tidak memadai untuk hidup sekeluarga di zaman yang keras ini. Dan jadilah mereka ksatria-ksatria hawa bagi keluarga.
Perempuan-perempuan itu selalu begitu adanya. Bekerja dalam linimasa yang sudah bisa diduga. Bekerja dengan airmuka yang tergenang lelah, dan kita temukan jejak letih di tiap guratnya. Mereka istri-istri yang bekerja, perempuan-perempuan luarbiasa. Dan energi mereka, agaknya, melampaui suaminya. Betapa tidak? Selain berbenah dan bersibuk untuk urusan domestik, mereka mesti berhibuk mencari “sangu”, mencari tambahan agar cashflow keuangan keluarga terpenuhi.
Saya yakin, perempuan-perempuan perkasa itu berharap yang ideal, bermimpi dalam indahnya visi pasutri [pasangan suami-istri] yang dikehendaki agama; suami bertugas mencari nafkah dan istri mengatur keluarga dan arus keuangannya. Sebagaimana ditahbiskan sebuah hadits: “Dan istri itu mengatur dan bertanggung jawab atas urusan rumah suaminya.” [HR. Bukhari]
Sayang, sesuatu yang ideal seringkali tidak semulus yang dibayangkan. Kehidupan nyata berbicara lain. Maka menguaplah impian manis itu bersama waktu yang terus bersalin rupa. Dan mereka mesti realistis: menerima dengan hati yang lapang bahwa suami mereka bukan anggota dewan yang sehari-hari duduk manis, asyik berdebat dan berwacana saja, tapi gajinya puluhan juta rupiah.
Sedang mereka? Hanya membawa Rp. 20.000 sehari, dari pagi hingga senja hari. Itu pun harus berbagi jatah masa kerja dengan kawan-kawan senasib. Berganti-gantian karena merasa senasib sependeritaan. Tidak melulu bekerja. Tidak senantiasa mendapat Rp. 20.000. Merekalah perempuan-perempuan berurat yang suaminya wajib berterimakasih. Karenanya, sungguh ironis dan mengenaskan, konon, di negeri Hong Kong sana, banyak para TKW yang berjuang demi keluarga, para suaminya justru asyik mendua dan berleha-leha. Sebuah contoh suami-suami yang tidak bisa menerjemahkan “wajib berterimakasih”.
Sungguh, Islam memang tidak pernah melarang seorang istri [baca: wanita] bekerja. Sebab, seperti dikemukan Quraish Shihab seraya mengutip Syekh Muhammad Quthb, “Perempuan pada zaman Nabi pun bekerja ketika kondisi menuntut mereka bekerja. Masalahnya bukan terletak pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja. Masalahnya adalah bahwa Islam tidak cenderung mendorong wanita keluar rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu, yang dibutuhkan masyarakat, atau atas dasar kebutuhan wanita tertentu. Misalnya, kebutuhan untuk bekerja karena tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.”
Dan perempuan-perempuan yang saya terakan di atas adalah perempuan yang merasa perlu bekerja, yang dimaksud Quthb, yang membuat kita mafhum bahwa laku mereka sungguh mulia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H