Mohon tunggu...
Abdul Muaz
Abdul Muaz Mohon Tunggu... penulis, penyunting, pengkhayal -

Betawi. Suka Sufisme, Sastra dan Film. Blog saya: http://www.abd-muaz.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Merendah Dari Syekh

3 September 2012   10:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:58 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1346668474900340302

‘Siapa tahu di akhir hayatnya dia akan memeluk Islam dan menutup usianya dengan amal baik, dan siapa tahu di akhir hayatku aku menjadi kafir dan menutup usiaku dengan amal buruk.’”

[caption id="attachment_196962" align="alignnone" width="400" caption="Sumber foto: pusaka.or.id"][/caption]

Ia lahir 1078 M. Dan 900 tahun kemudian, saya yang dhaif dan suka sekali dengan figurnya lahir. Tentu saja, tak ada korelasi nasab, pertalian darah, atau pun jejak kekerabatan antara saya dan dia. Saya bukan sesiapa dalam semesta ini, sementara dirinya: penghulu para wali, yang ibunya—Ummul Khair Fatimah—masih dzuriyyah Nabi Muhammad saw melalui jalur cucu terkasih, Husein.

Padanya berhimpun segenap kemulian: ilmu, ma’rifat dan karamah. Dan saya, bahkan ilmu pun masih terus mengais; termasuk mengais banyak darinya, belajar tanpa pernah berjumpa denganya, mensigi lapis-lapis cahaya pada tiap kata dan kalimat yang diujarkanya. Itu pun kadang beruntung serupa ada yang terang-benderang di dalam kalbu, dan seringkali juga jatuh bangun, meraba-raba dalam cahaya yang sabur-limbur

Dan siapa yang tidak kenal dengannya: Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Lelaki mulia yang namanya harum dalam halaqah-halaqah ilmu, reriungan spiritual, dan ta’lim-ta’lim jam’iyyah.  Sang sufi. ‘Alaamah. Penyair. Penganjur kebajikan. Penentang kelaliman. Seorang guru. Seorang yang berhimpun ilmu dan akhlak yang luhur.  Manusia yang nasihat-nasihatnya dalam pelbagai hal, hingga kini, masih direguk para pencari jalan Ilahi.

Salah satu petuah bestarinya itu ihwal tawadhu. Satu kata yang dalam kamus Munjid berarti merendah, tidak jumawa. Dalam Al-Gunyah Lithalibil Thariiq Al-Haqq [Penerbit Serambi menerjemahkan buku ini menjadi Buku Pintar Tasawuf: Memahami Spiritualitas Islam dan Tarekat dari Ahlinya], Syekh Abdul Qadir mengurai laku tawadhu --yang menurut saya—begitu indah dan tidak mudah.

“Ia [yang tawadhu], jika bertemu dengan anak-anak di bawah umur atau yang lebih muda darinya, akan merendah seraya berkata: ‘Dia ini belum bermaksiat, sementara aku sudah banyak bermaksiat. Ia tentu lebih baik dari aku.’ Sementara jika ia bertemu dengan orang yang lebih tua, ia akan berkata: ‘Dia sudah lebih lama menyembah Allah daripada aku.’ Kepada orang alim, ia merendah sambil berkata: ‘Dia diberi sesuatu yang belum aku capai dan ia telah memperoleh sesuatu yang belum aku peroleh, mengetahui apa yang belum aku ketahui, dan beramal dengan landasan ilmu.’ Bahkan, terhadap orang bodoh pun, ia tetap merendah dan berkata: ‘Dia bermaksiat kepada Allah atas dasar ketidaktahuannya, sementara aku bermaksiat kepada-Nya dengan segala pengetahuan, dan aku tidak tahu bagaimana nasib akhirnya dan nasib akhir diriku.”

Bila ujaran sang Syekh itu menyelinap syahdu ke dalam sanubari Anda, berhentilah sejenak. Bertasbihlah memuji Ilahi yang telah menciptakan guru spiritual sepertinya. Panjatkan shalawat kepada Rasulullah yang memiliki keturunan sebegitu shalehnya. Hadiahkan Fatehah untuk sang Nabi, juga untuk Syekh Abdul Qadir Jailani. Setelah itu, sila Anda lanjutkan membaca petuah tawadhunya ini:

“Bahkan terhadap orang kafir, ia merendah dan berkata: ‘Siapa tahu di akhir hayatnya dia akan memeluk Islam dan menutup usianya dengan amal baik, dan siapa tahu di akhir hayatku aku menjadi kafir dan menutup usiaku dengan amal buruk.’”

Saya tercenung lama membaca akhir petuah sang Syekh ini. Berkelebat bayangan saudara-saudari semuslim saya yang begitu mudahnya mennyematkan kafir satu sama lainnya. Ada senarai memori saya yang mengenang adegan-adegan takfiir [pengkafiran] sebagian kita atas nama imannya. Meruap. Mengoyak satu per satu.Ah! Barangkali, saya keliru. Barangkali, Allah tengah menguji iman saya, tengah mencoba seberapa saya menyerap pesan tawadhu sang Syekh.  Wallahu’alam bilshawab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun