Mohon tunggu...
Abdul Muaz
Abdul Muaz Mohon Tunggu... penulis, penyunting, pengkhayal -

Betawi. Suka Sufisme, Sastra dan Film. Blog saya: http://www.abd-muaz.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Darah Biru”?

20 Agustus 2014   23:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:01 710
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seberapa “biru”-kah darah Anda?

Darah biru. Sejak nyantri di sebuah pesantren, istilah ini masih menyelimuti benak saya; sebuah istilah yang kala itu sempat menerbitkan kekaguman dan kesungkanan saya bila seorang teman disebut-disebut masih ber-‘darah biru’. “Wah, Ahmad,  anak Kyai Anu tuh!” atau “Hei, si Syarif, putra pejabat Anu tuh!” Seloroh-seloroh demikian kerap menjadi bahan obrolan di saat-saat senggang kami, para santri.  Dan, biasanya, bila orang yang dimaksud cerdas dan saleh, saya dan teman-teman hanya bisa berkata: “Oh... Pantesan!”

Tapi, seiring waktu berjalan, saya mendapati seorang yang disebut berdarah biru itu tidak selamanya cerdas dan saleh, tidak selamanya figur yang layak digugu dan ditiru. Terlebih sejak saya mengenal peribahasa Arab yang seingat saya bunyinya begini: ‘Laisal fata man yaqulu kaana abi,  walakinnal fata man yaqulu ha ana dza’ [bukanlah [disebut] seorang pemuda yang berkata itulah bapak saya, akan tetapi dialah sang pemuda yang berkata inilah saya].

Sejak itulah satu azam mengekal di palung kalbu saya: seorang ber-‘darah biru’ bukan jaminan menjadi pribadi hebat. Dan, memang, di kemudian hari saya acapkali mendapati seseorang yang disematkan memiliki trah ‘darah biru’ itu banyak tak sesuai dengan statusnya. Laku dan ujaranya jauh dari ke-darah biruanya itu. Bukankah banyak anak kyai yang tidak seperti bapaknya yang kyai? Bukankah anak seorang raja banyak yang tidak seperti ayahnya yang raja?

Sayang, setelah saya mengenal bangku mahasiswa dan kemudian bekerja, istilah ini masih saja menghantui saya. Darah biru. Sebuah frase yang bila merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia bermakna keturunan bangsawan [ningrat]. Satu istilah yang kini begitu mudah diklaim di mulut saudara-saudara semuslim saya.  Baik secara langsung atau tidak langsung, entah bercengkerama langsung atau tidak langsung, saya biasa menjumpai orang dengan begitu bangganya menyebutkan dirinya ahli waris kerajaan Islam anu, bahwa ia masih ada pertalian darah kesekian dengan wali ini-itu, dan—yang paling ekstrem—bahwa ia generasi sekian yang nasabnya sampai ke nama junjungan kita, Nabi Muhammad saw. Wallahu’alam ihwal keabsahan dan kesahihanya. Sebab, bagi saya, itu bukan hal yang penting dan signifikan.

Yang penting menurut saya, yang membuat hati saya trenyuh dan  bergemuruh, adalah bila mereka yang mengaku berdarah biru dan keturunan tokoh-tokoh hebat itu tidak sejalan dan selurus lakunya dengan orang yang klaimnya itu. Sebuah contraditio in terminis, sebuah istilah yang bertolak belakang. Berita-berita stasiun televisi, kerapkali, meneguhkan hal tersebut. Orang-orang dalam keseharian hidup kita pun sangat jamak mengalaminya.

Seorang lelaki berwajah  ke-Araban-araban, misalnya, mengaku memiliki silsilah nasab yang berujung kepada nama Nabi Muhammad saw, namun pada suatu kesempatan ia terlihat tengah menganjurkan kekerasan untuk menyerang sebuah  kelompok agama lainnya. Seorang pria, contohnya, mengaku masih keturunan kyai anu dan nasabnya berakhir pada seorang wali masyhur, namun kedapatan menghamili anak gadis orang.  Miris, bukan? Entahlah. Saya hanya bisa mengelus dada dan menggumam di hati: Astaghfirullah...

Karena itu, pertanyaannya kemudian: Bagaimanakah memaknai seseorang dengan label “darah biru” di namanya? Bagaimanakah menafsir seberapa “biru”-kah darah seseorang?

Hmmm. Saya jadi teringat almarhumah wanita Jepara yang namanya dicatut sebagai hari besar nasional, yang pribadinya menjadi simbol emansipasi wanita Indonesia, yang  pada setiap 21 April, segenap anak sekolah mengenangnya secara seremonial. Dialah Raden Ajeng Kartini. Dalam sebuah risalahnya kepada Stella, sahabat penanya, ia pernah berkata: “Bagi saya hanya ada macam keningratan: keningratan pikiran dan keningratan budi.” [Surat Kartini Kepada Stella, 18 Agustus 1899].

Ujaran Kartini itu begitu menggugah batin saya. Ya, betapa keningratan, kedarah biruan itu sejatinya ada di dalam pikiran, di dalam state of mind, cara berpikir seseorang. Betapa keningratan, kedarah biruan itu sesungguhnya ada pada budi seseorang, pada ahlak seseorang. Karenaya, semakin baik ahlak seseorang, semakin darah birulah seseoarang. Atau semakin seseorang mengaku berdarah biru, maka seyogyanya semakin berbudilah ia. Perkataanya akan santun dan penuh hikmah, perbuatanya akan sarat kebajikan yang membahagiakan orang di sekelilingnya. Dialah bangsawan sejati, manusia berdarah biru sesungguhnya.

Dan Islam mengamini postulat itu. Bukankah Allah swt, dalam beberapa firman-Nya, mengatakan: “Dialah yang telah menciptakan mati dan hidup supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya...” [QS. Al-Mulk: 2]. Sungguh, apakah pernyataan Ilahi dalam ayat tersebut menekankan seberapa bagus keturunan kamu? Tentu tidak, bukan? Apakah ayat tersebut menegaskan ihwal status “darah biru” yang digadang-gadang saudara-saudara semuslim kita? Tentu tidak, bukan?

Dan untuk mereka yang mengaku-aku sebagai keturunan Nabi Muhammad saw dalam silsilah ke sekian, tengoklah hadits ini: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk dan jisim kalian, tetapi ia menilai pada hatimu...” [HR. Bukhari]

Apakah petuah Nabi itu menekankan pada status atau kelas sosial yang Anda banggakan? Apakah sabdanya itu menegaskan keningratan dan kebangsawanan Anda? Tentu  tidak, bukan?

Bahkan, kita tahu, sejarah pun tidak pernah menggaransi seorang anak Nabi akan menjadi Nabi. Seseorang yang berayahkan rasul Allah pun belum menjamin kemuliaan dirinya. Tengok saja kisah Kan’an, putra Nabi Nuh, yang durhaka kepada bapaknya yang Nabi itu.

Demikianlah. Bila Anda ingin mengukur diri Anda, atau mungkin kolega Anda, atau bisa jadi orang-orang di sekeliling Anda yang selama ini merasa berdarah biru karena nama seorang tokoh besar, maka telisik saja: seberapa baguskah ahlaknya, seberapa baikkah budi dan laku kehidupannya? Dan di sanalah sebuah jawaban seberapa “biru”-kah darah Anda ditemukan.  Wallahu’alam bilshawab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun