Menarik sekali tulisan rekan kompasianer Ninoy N Karundeng yang diheadline oleh admin, judulnya : 10 Mitos Puasa Dari Larangan Seks Sampai Semua Dosa Diampuni. Namun ada beberapa mitos yang tertulis dalam artikel tersebut menurut penulis perlu ditanggapi atau mungkin ditambahkan sedikit penjelasan agar agar tidak menimbulkan kesalahpahaman oleh pembaca.
PERTAMA adalah mitos kedua, “Setelah puasa semua dosa diampuni. Tidak semua dosa diampuni seperti korupsi misalnya karena sifat dosa korupsi adalah harta yang dihasilkan dari korupsi tetap haram sifatnya. Dosa yang diampuni oleh Allah SWT adalah dosa yang terkait dengan dosa-dosa peribadatan, dosa dengan sesama manusia, namun bukan dosa karena korupsi. Kalau dosa korupsi diampuni gara-gara berpuasa enak banget para koruptor. Kenapa? Karena sifat korupsi yang meninggalkan jejak abadi harta benda hasil korupsi, dan dosa harta haram mengalir dalam darah para koruptor dan keluarganya, menjadi semacam maksiat jariyah.
TANGGAPAN : Secara umum pendapat tersebut sudah benar, hanya saja penulis perlu sedikit menggaris bawahi bahwa dosa-doa yang diampuni oleh Allah Swt adalah hanya dosa yang berkaitan langsung dengan Allah Swt, dosa yang berkaitan dengan hablun minallah saja. Adapun dosa-dosa yang berkaitan dengan sessama manusia, atau yang berkaitan dengan hablun minannas tidak serta merta mendapat ampunan dari Allah Swt sebelum kita meminta maaf, meminta kehalalan dan keikhlasan dari orang yang kita rugikan, dari orang yang kita dzalimi. Jika orang yang kita rugikan, kita dzalimi tidak memmaafkan kita, tidak menghalalkan dan tidak mengikhlaskan kepada kita, maka dosa-dosa kita tidak serta-merta diampuni begitu saja, terlebih mengambil hak dari orang banyak (korupsi).
KEDUA adalah mitos Kelima, meminta maaf sebelum mulai berpuasa kepada semua orang tua, kolega dan teman. Tidak ada aturan yang mengatur tentang hal ini. Bermaaf-maafan antar handai tolan, keluarga dan teman, orang tua dan sahabat, dilakukan setelah usai sholat Idul Fitri – pada akhir bulan Ramadhan.
TANGGAPAN: memang ada sebuah hadist yang diduga palsu yang terjemahannya kurang lebih seperti ini “Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali.
Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah. Do’a Malaikat Jibril adalah: “Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut: 1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada); 2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri; 3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.Katanya bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah, 3:192 dan Ahmad, 2:246, 254.
Menurut Ustadz Ammi Nur Baits di artikel ini setelah dicocokkan sesuai dengan pengambilan sumber hadist yang ditemukan adalah hadis : “Dari Abu Hurairah; Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam naik mimbar lalu bersabda, ‘Amin … amin … amin.’ Para sahabat bertanya, ‘Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?’ Kemudian, beliau bersabda, ‘Baru saja Jibril berkata kepadaku, ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadan tanpa mendapatkan ampunan,’ maka kukatakan, ‘Amin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun itu tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua),’ maka aku berkata, ‘Amin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bersalawat ketika disebut namamu,’ maka kukatakan, ‘Amin.” (Al-A’zhami berkata, “Sanad hadis ini jayyid.”) Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib wa At-Tarhib, 2:114, 2:406, 2:407, dan 3:295; juga oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Madzhab, 4:1682. Dinilai hasan oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 8:142; juga oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Qaulul Badi‘, no. 212; juga oleh Al-Albani di Shahih At-Targhib, no. 1679.
Jadi hadis pertama di atas memang tidak bisa dijadikan dasar untuk saling meminta maaf sebelum bulan puasa. Namun demikian meminta maaf sebelum puasa tidak ada salahnya, karena pada dasarnya meminta maaf bisa dilakukan kapan pun dan di manapun. Meminta maaf memang harus disegerakan, jangan menunggu Idul Fitri, termasuk sebelum berpuasa sebab belum tentu kita akan hidup sampai Idul Fitri. Segera menghalalkan kedzaliman yang kita lakukan dianjurkan dalam sebuah hadist : “Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah–shallallah ‘alaih wasallam– bersabda: “Barang siapa melakukan kedzaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”. (HR. Al-Bukhari nomor 6.169)
KETIGA adalah mitos keenam, tidur berpahala. Nah ini sudah banyak dibahas dan dipertanyakan. Hal yang aneh tidur kok berpahala. Mitos ini membuat pelaku puasa bermalas-malasan dan tidak bekerja. Hal ini tidak sesuai dengan semangat bekerja meskipun sedang menjalankan ibadah puasa.
TANGGAPAN : “Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah. Diamnya adalah tasbih. Do’anya adalah do’a yang mustajab. Pahala amalannya pun akan dilipatgandakan.” Hadist ini didiga kuat sebagai hadist yang doif (lemah), sehingga kurang tepat dijadikan dasar untuk tidur dan tidur saja di bulan Ramadlan karena dengan tidur saja mendapatkan pahala. Namun demikian, hadist ini perlu diapresiasi dari sisi pemahaman yang lain, yakni “tidur saja berpahala” apalagi kalau melakukan berbagai aktivitas yang positif, tentu akan mendapatkan pahala yang jauh lebih banyak. Mestinya hadist ini jangan dipahami pada sisi “tidurnya” tapi pada sisi motivasinya.
Tidur pasa saat berpuasa memang bisa bernilai ibadah, dengan syarat bahwa tidur itu tidak diniatkan untuk bermalas-malasan, namun karena ada alasan yang lebih jelas. Pada waktu luang atau istirahat tentu lebih baik tidur dari pada waktunya digunakan untuk kegiatan yang mengarah pada perbuatan maksiat. Tidurlah (pada waktu siang) dengan niat agar pada malam hari bisa memperbanyak ibadah atau qiyam al layl.Tidurlah yang cukup pada malam hari, agar di siang hari bisa beraktifitas secara normal meskipun tengah berpuasa. Tidur seperti inilah yang memiliki nilai ibadah, bukan tidurnya orang yang malas-malasan karena beranggapan “tidur saja dapat pahala”.