Mohon tunggu...
Abd. Ghofar Al Amin
Abd. Ghofar Al Amin Mohon Tunggu... wiraswasta -

|abd.ghofaralamin@yahoo.co.id|

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Relawan Jokowi Kecewa Rini Soemarno Jadi Menteri

27 Oktober 2014   19:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:33 2467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14143891881633270481

Rini Soemarno berama Jokowi (foto; tribunlampung)

Mantan Kepala Staf Tim Transisi, Rini Mariani Soemarno yang sebelumnya dikabarkan mendapat “raport merah” dari KPK, akhirnya ditetapkan menjadi Menteri Negara BUMN oleh Presiden Jokowi, dan baru saja dilantik bersam-sama dengan 33 menteri lainnya. Hal ini tentu membuat sebagian relawan Jokowi kecewa berat, presiden yang maju lewat Koalisi Indonesia Hebat (KIH) ini dinilai tidak konsisten, menciderai komitmen kepada rakyat yang bersih dan berada dalam tekanan pihak-pihak tertentu.

Sebelum Rini ditetapkan sebagai menteri dalam Kabinet Kerja sudah mendapat pertentangan, bahkan sejumlah relawan pendukung Jokowi sudah menggelar aksi di Istana Merdeka, Minggu (26/10/2014). "Kami yang tergabung dari relawan Jokowi-JK untuk nusantara menolak Rini Soemarno kandidat Menteri BUMN," jelas Arfan yang menjadi orator demo. Rini bukan orang baru di pemerintahan. Pada saat Megawati jadi presiden ke-5, Rini menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Saat itu Rini dinilai gagal jadi menteri. Kebijakan yang diambilnya saat itu mengakibatkan industri nasional strategis tutup dan membuka liberalisai pasar dan banjir barang impor.

Sebelumnya aksi tersebut, aksi serupa juga telah dilakukan pada hari Sabtu 25 Oktober. massa yang mengklaim dirinya sebagai relawan Jokowi-JK untuk nusantara masih dengan tuntutan serupa yaitu menolak Rini Sumarno masuk dalam bursa menteri presiden Joko Widodo. Bahkan Dosen ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan susunan kabinet Jokowi melukai hari rakyat. Karena ada beberapa orang yang diangkat jadi menteri bukan atas pertimbangan kapasitas dan kompetensi keahlian seperti Susi Pudjiastuti, dan Rini Soemarno yang ditolak publik karena diduga terlibat dalam kasus BLBI dan mark up Sukhoi.

Terpilihnya pemilik maskapai penerbangan Susi Air tersebut menjadi menteri membuat publik kecewa besar, bukan hanya karena pendidikannya yang tamat SMA. Tapi yang diragukan bagaimana pengalaman dan sepak terjangnya fokus mengurus laut dan ikan, kemudian pada bab yang sama ada bisnis yang mengiurkan jelas menguntungkan perusahaan miliknya. "Jokowi menunjuk Susi Pudjiastuti menurut saya bukan alasan atau pertimbangan kapasitas dan kompetensi keahlian, kemungkinan alasan nomor satu menunjuknya adalah alasan donatur pilpres. Teori relasi kawin silang antara penguasa (elite) dengan pengusaha (aktor ekonomi)," jelasnya sebagaimana dilansir media ini.

Peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam menegaskan jika dalam kabinet Jokowi-JK tetap ada nama bermasalah maka akan membuat rakyat pendukung Jokowi-JK kecewa. "Kalau pertimbangan KPK tidak digubris, itu namanya Jokowi hanya menggunakan KPK sebagai alat pencitraan, rakyat pasti kecewa," paparnya. Nah apakah Rini benar-benar mendapat “raport merah” dari KPK? Kita semua tidak tahu, karena KPK sendiri tidak merelease daftar nama calon menteri yang dianggap bermasalah. Sementara itu, Ketua DPD Irman Gusman kepada TVRI meminta kepada masyarakat untuk tidak mempermasalahkan raport merah atau kuning dari KPK, karena penentuan menteri hak prerogratif presiden.

Rini Mariani Soemarno Wanita berdarah Klaten Jawa Tengah ini lahir di Maryland, 9 Juni 1958 dan pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Ekonomi, Wellesly College Massachusetts, USA (1981). Dari segi karir, ia telah banyak berpengalaman di berbagai bidang antara lain pernah menjadi Presiden Komisaris PT. Semesta Citra Motorindo, Jakarta, Pengurus Pinjaman Bank Dunia untuk Negara-negara Asia Afrika, Departemen Keuangan Amerika Serikat, USA (1979-1980), Trainee Departemen Keuangan USA, Office of Multilateral Development Bank, USA (1981-1982).

Di bidang pemerintahan dia juga pernah menjadi Wakil Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Jakarta (1998) dan terakhir menjadi Menteri Perindustrian dan Perdagangan Kabinet Gotong Royong (2001-2004). Selain itu dia juga aktif menjadi Ketua Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA), Penasihat Ahli Keuangan Koperasi Pegawai Negeri, khususnya pada Bank Kesejahteraan Ekonomi (Bank yang saham terbesarnya dikuasai Koperasi Pegawai Negeri). Ia juga pernah menerima Penghargaan atas terpilihnya sebagai Pemimpin Puncak Terpuji 1995 dari Majalah Swa Sembada (1995)

Melihat sepak terjangnya, soal profesionalitas, Rini tak perlu diragu­kan. Bahkan, saat menginjak usia sepuluh tahun dan harus mengikuti sang ayah yang mantan menteri dan gubernur DKI di era Bung Karno ber­tu­gas ke Belanda, Soemarno khusus mengursuskan tari Jawa. Bukan les matematika atau fisika. Hal ini tak lepas dari aturan dan pengaruh orang tuanya. Termasuk urus­an jodoh. ”Don’t ever marry a non Indonesian,” begitu pesan Soe­marno saat Rini melanjutkan pendidikan menengah dan universitas di Amerika Serikat.

Secara berurutan, karir Rini di dalam negeri Trainee Citibank N.A, Jakarta (1982), Asisten Manager Citibank N.A, Jakarta (1982-1983), Manager Citibank N.A, Jakarta (1984-1988), Asisten Vice President Citibank N.A, Jakarta (1986-1988), Vice President Citibank N.A, Jakarta (1988-1989), GM Finance Division PT Astra International, Jakarta (1989), Direktur Keuangan PT Astra International, Jakarta (1990), Direktur Utama PT Astra International, Jakarta (1998-2000), Komisaris PT Agrakom – Bidang Bisnis Internet, Jakarta (2000), Presiden Direktur PT Semesta Citra Motorindo (2000-2001), Presiden Direktur PT Kanzen Motor Indonesia (2005).

Awal 1998, Rini ditarik ke ja­jaran birokrasi. Menteri Ke­uangan saat itu, Fuad Bawazier, memintanya membantu sebagai asisten bidang hubungan ekonomi keuangan internasional. Pada April tahun yang sama, pemerintah juga mengangkatnya menjadi Wakil Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Ta­pi, rupanya dua jabatan itu hanya kuat dijalani Rini dalam hitungan bulan. Ada banyak faktor eksternal yang membuat dirinya tidak bisa berkarya secara maksimal. Untuk itu, ia memilih mengundurkan diri dan kembali ke Astra Internasional.

Keputusan Rini kembali ke Astra mengundang banyak pertanyaan kawan-kawannya. Pa­sal­nya, saat itu Astra tengah diterjang badai krisis ekonomi yang membuat perusahaan otomotif terbesar di Indonesia itu hampir kolaps dan menanggung kerugian induk perusahaan hingga Rp 7,38 triliun pada semester pertama 1998. Sahamnya di Bursa Efek Jakarta hanya bernilai Rp 225 per lembar, saham pada September 1998 dibandingkan saat go publik akhir 1980-an yang mencapai belasan ribu rupiah.

Kerja keras dan keberhasilan Rini merestrukturisasi utang setahun kemudian sayangnya berbenturan dengan pemegang kebijakan. Cacuk Sudaryanto, kepala BPPN yang baru, menilai perusahaan yang digawanginya tidak kooperatif. Hal itu berkait dengan rencana BPPN melepas saham Astra yang dipegang pemerintah. Rini dinilai tidak memuluskan pelepasan saham itu karena tidak suka pada investor yang dipilih BPPN. Rini sempat be­rang dengan tudingan itu dan me­ngirim surat kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Tapi ia tidak bisa melawan dalam rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada 8 Februari 2000. Rini harus merelakan kursi Presiden Direktur PT Astra Inter­nasional kepada mantan atasannya, Theodore Permadi Rach­mat.

Lepas dari Astra, Rini menerima tawaran mengelola perusahaan multimedia, Agrakom. Di perusahaan yang dikenal sebagai pemilik situs berita Detikcom itu ia duduk sebagai komisaris. Belakangan ia kembali menggeluti dunia otomotif dengan mendirikan perusahaan untuk memasarkan sepeda motor Kanzen. Tapi hasilnya tak sesukses ketika mengurus PT Astra. Sampai akhirnya datang kepercayaan dari presiden Megawati dengan menempatkannya sebagai Menperindag pada Agustus 2001.

Sembilan bulan perannya di kementerian kerap diwarnai kontroversi dengan dunia usaha yang mengeluhkan ketiadaan proteksi menghadapi AFTA 2002, atau kasus paha ayam impor asal Amerika dan pengenaan bea masuk (BM) impor gula. Hal itu membuat Deperindag ”bersitegang” dengan Departemen Per­ta­nian. Rini juga sempat terseok-seok dalam pembelian empat pesawat dan dua helikopter tempur Sukhoi melalui sistem ‘imbal dagang’ yang dinilai merugikan Indonesia pada 2003. Bahkan imbal dagang untuk pembelian alusista dari Rusia itu sempat melahirkan Panja Sukhoi di DPR. (selengkapnya disini)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun