Sebagian surat-surat dari PT. Pos mangkrak di salah satu Kantor Desa (foto dokpri)
Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan menjamurnya berbagai jenis layanan dan fasilitas komunikasi seperti telepon, faksimile, HP, BB, inbox, Facebook, Twitter, e-mail dan sejenisnya ternyata belum bisa mewakili seluruh kebutuhan komunikasi manusia modern saat ini. Demikian juga pengiriman uang melalui transfer, layanan mobile banking, e-banking dan sejenisnya juga belum bisa mencukupi kebutuhan manusia modern untuk melakukan transaksi keuangan, sehingga peranan jasa pos pengiriman masih tetap eksis dan tidak pernah “mati kutu”.
Terlebih PT. Pos Indonesia (Persero) yang memiliki jaringan seantero Nusantara menjadi salah satu layanan jasa milik negara yang paling diminati konsumen untuk pengiriman surat,dokumen, uang dan pengiriman paket/barang. PT. Pos Indonesia lebih eksis karena selama ini proses distribusi berbagai kiriman pos, khususnya di wilayah pedesaan terbantu oleh para perangkat desa.
Di wilayah pedesaan pengiriman surat-surat dan kiriman pos lainnya dilakukan oleh para perangkat desa, pekerjaan petugas pos tingkat kecamatan sangat ringan, hanya mengantar surat-surat dan kiriman pos lainnya di Kantor Pemerintah Desa, selanjutnya para perangkat desa yang “bertugas” mengantar ke alamat tujuan.
Pertanyaannya sejak kapan para perangkat desa “ditugaskan” mengantar surat-ssurat dan kiriman pos lainnya? Jawabannya belum diketahui secara pasti, mungkin saja sejak PT. Pos Indonesia didirikan di Batavia (sekarang Jakarta) oleh Gubernur Jendral G.W Baron Van Imhoff pada tanggal 26 Agustus 1746.
Perubahan status PT. Pos Indonesia sendiri telah beberapa kali mengalami perubahan status mulai dari Jawatan PTT (Post, Telegraph dan Telephone). Badan usaha yang dipimpin oleh seorang Kepala Jawatan ini operasinya tidak bersifat komersial dan fungsinya lebih diarahkan untuk mengadakan pelayanan publik sehingga sangat wajar jika para perangkat desa “bertugas” membantu negara mengirimkan surat-surat dan kiriman pos lainnya ke alamat tujuan.
Perkembangan terus terjadi hingga statusnya menjadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel), lalupada tahun 1965 berganti menjadi Perusahaan Negara Pos dan Giro (PN Pos dan Giro), dan pada tahun 1978 berubah menjadi Perum Pos dan Giro yang sejak itu ditegaskan sebagai badan usaha tunggal “plat merah” (milik pemerintah, kendaraan operasional/dinas juga berplat merah) dalam menyelenggarakan dinas pos dan giro pos baik untuk hubungan dalam maupun luar negeri.
Karena para perangkat desa sebagai bagian dari birokrasi kepemerintahan yang harus “loyal” kepada negara, maka mau tidak mau mereka harus “rela” menjadi ujung tombak pengiriman surat-surat dan kiriman pos lainnya di seluruh pelosok nusantara. Coba bayangkan saja, tiap Kantor Pos tingkat kecamatan hanya berisi 3–4 orang pegawai, dengan rincian 1 orang kepala dan 2–3 orang anggota, 2 orang bertugas di kantor dan 1 orang bertugas di lapangan atau sebaliknya. Sementara di tiap-tiap kecamatan rata-rata terdiri dari 10 hingga 15 desa, masing-masing desa rata-rata terdiri dari 15 hingga 30 RT dengan medan yang tidak semuanya mudah dijangkau, artinya tanpa “bantuan” perangkat desa mengirimkannya, sangat mustahilsurat-surat dan kiriman pos lainnya bisa sampai alamat tujuan tepat waktu dan tepat sasaran. Tanpa para perangkat desa, PT. Pos Indonesia bukan apa-apa.
Jaman telah berubah, selama 17 tahun berstatus Perum, sejak Juni 1995 berubah menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT. Pos Indonesia (Persero), dan tidak lagi menjadi perusahaan “plat merah” yang nonkomersial, PT. Pos Indonesia kini menjadi perusahaan “plat hitam” (termasuk kendaraan operasional/dinas juga berplat hitam) yang bersifat komersial, sehingga mestinya ada semacam “MoU”baru dengan pihak Pemerintah Desa dan atau para perangkatnya yang nota bene “berplat merah”.
Namun kenyataan yang terjadi tidak demikian, PT. Pos Indonesia di tingkat kecamatan tetap saja tinggal meneruskan “tradisi lama”, menitipkan hampir semua surat-surat dan kiriman pos lainnya di Kantor Pemerintah Desa tanpa perjanjian dan kompensasi apa pun. Demikian sebaliknya pihak Pemerintah Desa juga tidak berani “menolak” titipan dari PT. Pos yang setiap hari datang silih berganti, terlebih perubahan status pada waktu itu masih pada masa rezim Orde Baru, sehingga secara politis ada semacam “ketakutan” dari para perangkat desa untuk menolak sesuatu yang sebenarnya bukan pekerjaannya.
Era reformasi bergulir, PT. Pos Indonesia masih tetap saja meneruskan “tradisi lama”, menitipkan hampir semua surat-surat dan kiriman pos lainnya di Kantor Pemerintah Desa tanpa perjanjian dan kompensasi apa pun. Sebagian perangkat desa kini sudah mulai berani menyuarakan “penolakan” baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap PT. Pos Indonesia. Bentuk penolakan tersebut antara lain melalui rilis/pemberitaan di media massa ataupun dalam bentuk aksi tidak mau mendistribusikan surat-surat dan kiriman pos lainnya yang dititipkan di Kantor Pemerintah Desa.