[caption id="attachment_379446" align="aligncenter" width="577" caption="Kinerja Jokowi mulai dipertanyakan (foto; kompas)"][/caption]
|Hailet Article| Awal bulan April Indo Barometer telah merilih hasil survey tentang kepuasan publik atas pemerintahan Jokowi-JK. Hasilnya publik yang menyatakan puas dengan kinerja Jokowi 57,5 persen, sementara 37,5 persen menyatakan tidak puas dengan kinerja Jokowi. Survei dilakukan pada 13-25 Maret 2015 di 34 provinsi dengan jumlah responden 1.200 orang dan margin of error 3,0 persen serta tingkat kepercayaan 95 persen (kompasiana). Kemarin giliran Poltracking Indonesia yang merilis hasil surveynya sekaligus melaporkan kepada Presiden Jokowi, hasilnya kepuasan publik berada di bawah angka rata-rata, hanya mencapai angka 44%, tidak puas 48,5 dan tidak tahu 7,5%.
Survei kemudian mengerucutkan pada pertanyaan spesifik yaitu evaluasi kinerja Jokowi sebagai Presiden RI selama 6 bulan sejak dilantik pada Oktober 2014 lalu. Hasilnya, masyarakat cenderung tidak puas. Bagaimana respons Presiden menanggapi hasil survei itu? "Presiden menyampaikan akan lebih meningkatkan kinerja pemerintahan supaya kepuasan publik meningkat," kata Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yudha saat merilis hasil surveinya di Jakarta sebagaimana dilansir kompas
Menurut Hanta, salah satu faktor yang turut mempengaruhi ketidakpuasan publik kepada pemerintah adalah komunikasi politik pemerintah yang tidak dikelola baik. ”Boleh jadi rendahnya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan saat ini karena tidak adanya komunikasi yang sinergis, terintegrasi dan massif di lingkaran pemerintahan,” ucapnya. Hanta menyarankan ada unit khusus yang bertugas semacam jubir untuk menjelaskan beberapa masalah yang jadi perhatian publik, sebab seperti diketahui Jokowi tidak memiliki jubir seperti presiden-presiden sebelumnya.
Ketidakpuasan publik ini juga mengindikasikan bahwa pemerintahan Jokowi-JK selama 6 bulan berjalan ditengarai tidak melakukan evaluasi internal, terbukti angka ketidakpuasan publik masih sangat tinggi. Hasil survey ini bisa menjadi dasar Jokowi untuk melakukan evaluasi pemeritahannya, apakah tetap dilanjut dengan komposisi yang sudah ada, atau terpaksa harus ada “tambal-sulam” agar pemerintahan bisa berjalan dengan baik, terutama para menteri yang membidangi ekonomi dan hukum yang belakangan mendapatkan banyak sorotan. Tim ekonomi dinilai tidak memiliki orientasi kerja, penegakan hukum belum mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, catatan pemberantasan korupsi pun tergolong “memalukan”.
Meskipun banyak hasil kerja pemerintah yang bagus dan memuaskan, tapi publik secara umum tidak melihat dari sisi keberhasilannya semata, melainkan juga melihat sejumlah blunder-blunder pemerintahan Jokowi-JK yanag terjadi. Sebut saja pengusulan Komjen Budi Gunawan sebagai cakapolri, (dugaan) pelemahan KPK, harga BBM turn-naik, nilai tukar rupiah dengan dollar makin payah, Menkumham Yasona Laoly “mbelani” PPP Romahurmuzy dan Golkar Agung Laksono, penandatangan perpres tunjangan mobil dan yang lainnya ini lah yang ikut menjadi penilian publik sehingga memunculkan nilai yang “tidak memuaskan”.
Lalu bagaimana dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) selaku partai pengusung? Teranyata PDIP tidak melakukan pembelaan terhadap Jokowi-JK, bahkan partai pimpinan Megawati ini “membenarkan” hasil survei Poltracking Indonesia yang menyebutkan 48,5 persen publik tidak puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-JK, dan hal itu dianggap sebagai hal yang wajar-wajar saja. ”Sangatlah wajar jika persepsi tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK saat ini belum memuaskan,” kata dia, Senin (20/4). (sumber; sm.cetak)
Menurut Basarah ada beberapa faktor yang menjadikan Jokowi-JK tidak bisa bekerja secara maksimal. Pertama, paradigma pemerintahan yang dibangun oleh Jokowi belum sepenuhnya dapat diterima oleh parpol-parpol pengusung dan pendukungnya. Jokowi menganggap parpol-parpol pengusung hanya merupakan salah satu bagian yang sama dengan kelompok pendukung lainnya. Sementara di sisi lain, parpol-parpol pengusung dan pendukung, terutama PDIP menganggap pemerintahan Jokowi-JK lahir dari rahim politik PDIP dan parpol-parpol pendukung lainnya. ”Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 6A ayat 2 UUD 1945 dan UU Pilpres,” ucap Basarah.
Kedua, masa adaptasi presiden dan wakil presiden bersama para menteri-menterinya terlalu lamban sehingga belum menemukan chemistry atau format yang sesuai sehingga kabinet bisa cepat bekerja dalam satu rampak barisan pemerintahan yang solid. Serta ketiga, kondisi politik nasional yang masih terimbas konflik kepentingan pascapilpres yang masih belum juga selesai. Perseteruan tersebut dilanjutkan di parlemen dengan membuat blok politik KMP dan KIH. Perseteruan itu sudah memakan waktu sekitar tiga bulan dan praktis pada masa itu hubungan pemerintah dan DPR mengalami stagnasi.
Belum lagi para pembantu presiden, para menteri yang baru-baru, masih dalam tahap belajar, learning by doing. Masih memepleajari masalah, konsolidasi, sehingga kalau belum memuaskan wajar-wajar saja. Hal ini menjadi masukan yang baik bagi Jokowi-JK untuk melakukan pembenahan. Monggo Pak Jokowi, jangan hanya kerja, kerja dan kerja tapi hasil kerjaannya mesti dievaluasi dong. Pada bener ga tuch menteri-menterinya dalam bekerja? Trus hasil kerjaannya gimana? Hehe.. (Banyumas; 21 April 2015)
Selamat Siang Indonesia!