[caption id="attachment_378868" align="aligncenter" width="585" caption="Semua tertawa kecuali Gibran yang nyaris tanpa ekspresi, marah sama media kah? (foto; tempo) "][/caption]
|Trending Article| Putra pertama Presiden Jokowi, Gibran Rakbuming Raka yang sebentar lagi akan menikah, belakangan ini tengah menjadi pembicaraan publik, lantaran sikapnya kepada media terkesan kurang ramah. Gibran tidak banyak berbicara, jarang tersenyum, terkesan jutek dan sombong. Sebagai putra seorang presiden sikap ini disayangkan banyak pihak, karena bisa “mempermalukan” sang ayah, yang notabene seorang presdien. Kenapa Gibran berlaku seperti itu? Sahabat kompasianer Gunawan dalam artikelnya yang berjudul Gibran Permalukan Jokowi?Mencoba memberikan penjelasan sesuai sudut pandangnya.
Pada artikel yang nongkrong di kolom TA itu, sikap Gibran yang seperti itu konon karena dilatar belakangi “dendamnya” kepada media yang suka mem-bully Jokowi. Memang sejak awal pak Jokowi mencalonkan diri jadi Gubernur DKI dan juga saat Pilpres kemarin belaiu yang paling banyak mendapat fitnahan dan kampanye hitam. Sepertinya Gibran adalah yang paling terpukul dengan perlakuan media dan juga medsos yang selalu mem-bully Jokowi sedemikian rupa. Mungkin rasa sakit dan dendam kepada media atau orang yang tega mem-bully Jokowi dan keluarganya khususnya Gibran sangat membekas dan menyakitkan hati Gibran.
Bahkan setelah Jokowi terpilih dan di lantik menjadi presdien pun, bully itu tetap saja jalan. Hal ini dikarenakan Jokowi tak pernah memberi hukuman kepada orang yang memfitnah beliau dan keluarganya. Ini juga yang membuat Gibran sangat geram dan dendam kepada media tersebut dan akhirnya dilampiaskan kepada semua media. Sikap Gibran yang berlaku tidak simpatik kepada media ini pun akhirnya menjadi bahan bully-an apalagi para hater yang memang benci pada Jokowi dan semua orang yang ada hubungan dengannya. Sahabat Gunawan menganggap tindakan Gibran itu wajar mengingat begitu sakit hati Gibran atas fitnahan keji dari media yang kala itu mendukung capres lain. Mungkin sakit hati Gibran belum hilang sampai sekarang. Gibran mungkin punya hasrat untuk membalas “dendam” ketika ayahnya sudah menjadi Presiden.
Gibran jutek dan sombong karena “dendam” ata perlakukan (sebagian) media yang sedari dulu (pencapresan) hingga sekarang masih saja membully sang ayah, Presiden Jokowi. Berapa jumlah media yang menyerang Jokowi? Sepertinya memang sulit untuk dikalkulasi. Tapi sudah menjadi hukum alam, kalau ada pihak yang suka menjadi “pembully”, di sisi lain pasti ada pihak yang siap menjadi “pembela”, demikian juga di antara keduanya pasti ada pihak yang “netral”. Melihat kenyataan bahwa Jokowi akhirnya terpilih sebagai presiden dengan raihan 53% suara, maka kalkulasi sederhananya, jumlah kelompok “pembully” tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan kelompok “pembela” dan kelompok “netral”.
Gabungan kelompok “pembela” dan kelompok “netral” sedikitnya 53% dan kelompok “pembully” maksimal hanya 47% dari jumlah yang ada. Menjadi lucu jika seorang Gibran “gebyah uyah” melampiaskan “dendamnya” kepada semua pihak (media; pen), sementara hanya 47% yang masuk kategori kelompok “pumbully”, sementara yang 53% terdiri dari kelompok “pembela” dan kelompok “netral” yang tidak melakukan kesalahan apa-apa tapi harus menerima akibatnya, sama-sama dijutekin, sama-sama disombongin. Apa iya sebegitunya?
Kalau melihat sepak terjang Jokowi, dia adalah sosok yang sederhana, tidak banyak cing-cong, bukan tipe pendendam, dalam istilah Jawa dia adalah sosok yang “digethak ngupaih” (dipukul malah memberi membayar), artinya disakiti, didzalimi, dikuya-kuya tatap diam tidak melakukan aksi pembalasan apapun. Kalau ibarat Nabi disakiti, malah mendoakan yang menyakiti agar mendapatkan hidayah dari Tuhan. Jokowi memang bukan Nabi, tapi sebagai muslim dia pasti ingin mecontoh perilaku baik Nabi. Hal yang sedemikian itu tentu juga diajarkan oleh Jokowi kepada putra-putrinya, agar menjadi sosok yang sederhana, mandiri, lillahhi ta’ala dan tidak dendaman.
Sebagai anak-anak yang patuh, mereka pasti mentaati apa didikan orang tuanya. Jadi apa yang disampaikan sahabat Gunawan terlalu berlebihan jika menyebut Gibran “dendam” kepada media. Bisa jadi sahabat Gunawan yang berlebihan, bisa juga Gibran yang berlebihan. Kalau yang dirilis sahabat Gunawan benar, maka Gibran yang berlebihan, artinya dia tidak “ngestoaken” nasihat sang ayah. Tapi jika Gibran memang tidak “dendam”, tapi asli bawaan dari “sononya” sahabat Gunawan lah yang berlebihan dalam memberikan penilaian terhadap Gibran. Pliss Pak Gun.. hehe..
Penulis tidak mengenal Gibran secara langsung, penulis pun bukan ahli membaca raut muka seseorang. Tapi kalau melihat foto-foto Gibran yang disearch melalui google, sepertinya Gibran bukan tipe “pendendam”. Sikap Gibran yang cool dan terkesan jutek bin sombong sepertinya memang asli dari “sononya”, bawaan dari lahir kali ya? Gibran memang beda dengan sang ayah, Jokowi yang suka cengangas-cengenges, senyam-senyum, mesam-mesem dan ketawa-ketiwi kepada siapa pun tanpa ada beban. Jarang kita menemukan moment saat Jokowi terlihat tegang, cool bahkan jutek.
Gibran sebaliknya, lebih sering terlihat cool, jutek dan terlihat (terlihat lho..) sombong. Senyum pun hanya sedikit-sedikit saja, ngomong pun seperlunya. Bahkan beberapa waktu yang lalu, Gibran kepada sejumlah awak media, baik media “pembully” maupun media “pembela” secara tegas dan singkat menyatakan bahwa pernikahan adalah urusan pribadi, ia tidak suka kalau wartawan mewawancarainya. Ayo Gibran.. jangan permalukan Jokowi, tersenyum lah kepada semua orang di hari pernikahanmu, dengan senyuman ceria penuh bahagia, publik pasti akan mengapreasimu. (Banyumas; 17 April 2015)
Selamat Sore Kompasiana!