Nama Walikota Surabaya Tri Rismaharini kini tengah menjadi perbincangan publik. Banyak kaitanya, beberapa di antaranya karena beliau tengah digadang-gadang oleh beberapa partai yang tergabung dalam Koalisi Kekeluargaan untuk maju dalam Pilgub DKI tahun 2017 melawan sang patahana Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Di tengah desiran dorongan tersebut, yang terbaru karena muncul semacam “kesalahpahaman” komentar Ahok yang ditanggapi secara berlebihan oleh Risma.
Dua perkara yang mungkin berbeda tapi menjadi bisa dikaitkan, sehingga bisa menjadi bahan “ramen” di media. Soal jadi dicalonkan atau tidak, soal apakah itu benar-benar salah paham atau berlebihan dalam memberikan tanggapan, yang jelas lagi-lagi nama Risma jadi banyak disebut dimana-mana. Bahkan, karena itu ada yang menyebut bahwa Risma juga termasuk pribadi yang temperamental, mudah tersinggung dengan sesuatu hal yang menyangkut dirinya.
Tak hanya itu, di balik sejuta kesuksesan Risma memimpin Surabaya dan menjadi salah satu walikota terbaik tingkat dunia, ternyata Risma pernah akan “menyerah” menjadi Walikota di Surabaya, pernah akan mengundurkan diri dari jabatan Walikota Surabaya gegara tekanan politik yang terjadi kala itu, sekitar awal tahun2014-an.
Gegaranya adalah Wisnu Sakti Buana, Ketua DPC PDIP Kota Surabaya, yang sejak 2013 berhasil menduduki jabatan Wakil Walikota Surabaya menggantikan seniornya Bambang DH (sekarang Plt Ketua DPD PDIP DKI Jakarta), mendampingi Tri Rismaharini. Sepak terjangnya cukup controversial. Pada tahun 2011 bersama dengan Ketua DPRD Wisnu Wardhana (Demokrat) dia berusaha menggulingkan Walikota Tri Rismaharini, namun gagal. Sudah barang tentu, Risma merasa risih diwakili oleh orang yang pernah akan mendongkelnya, belum lagi tekanan politik dari dalam yang sangat luar biasa membuat Risma hampir menyerah.
Kala itu kasus Risma mencuat hingga ke pusat. Dukungan dari berbagai elemen masyarakat terus menerus dan silih berganti berdatangan walau tanpa ada permintaan. DPP PDIP mengutus Sekjen Tjahyo Kumolo ke Surabaya untuk mempertahankan Rismaharini bersama dengan Wisnu sakti Buana, namun sepertinya hal ini belum bisa menyelesaikan masalah. Bahkan keprihatinan kasus ini sampai-sampai Risma dipanggil ke Senayan bertemu dengan Priyo Budi Santoso, lalu Presiden SBY pun menyempatkan diri untuk menelpon memberikan dukungan.
Risma akhirnya bertahan karena mendapat dukungan dari berbagai pihak, sementara PDIP selaku partai pengusung Risma, kala itu, bukannya langusng mencarikan jalan keluar terbaik, justru malah memberikan sindiran. Budiman Sudjatmiko menyindir pengaduan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang “mengadu” permasalahannya kepada Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso.
Menurut Budiman, harusnya sebelum mengadu kepada DPR, Risma seharusnya berbicara kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Karena Wisnu sendiri merupakan Ketua DPC PDIP Surabaya. Kalau ada permasalahan dengan sesama kader, kata Budiman, Risma seharusnya melapor ke internal partai. "Pertama, kalau dia bermasalah dengan DPC PDIP Surabaya bisa melaporkan ke DPD PDIP Jawa Timur, kalau belum selesai bisa dilaporkan pada Sekjen atau Ketua Umum. Menurut saya etisnya sebelum mengadu pada DPR, lebih baik yang pertama ke ketua umum partai dulu, yakni Ibu Megawati. Kami akan cek lagi apa Bu Risma sudah bertemu Bu Mega," ungkap Budiman waktu itu.
Dalam hal tekanan politik, tekanan kerja dan berbagai permasalahannya, Jakarta tentu lebih “keras” dari Surabaya. Ini bukan sekedar perbandingan trotoar Jakarta danSurabaya. Tekanan politik dan politis tak hanya datang dari internal, tapi bisa dari mana saja, siapa pun yang akan memimpin Jakarta harus “bermental baja” untuk bisa menghadapi segala permasalahan yang bukan sekedar trotar jalan saja, siapa pun dia, termasuk Bu Risma jika memang takdir menuntunnya ke Jakarta. Bukan begitu kawan? (Banyumas;12 Agustus 2016)
Bacaan; kompas, dll
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H