Ilustrasi (lapsussiacil.wordpress.com)
Seorang ibu muda kelahiran tahun 1984an tengah mengajari putranya yang duduk di kelas 2 SD itu pelajaran Matematika. Ibu muda lulusan S1 PAUD yang sehari-hari berprofesi sebagai guru di sebuah Taman Kanak-Kanak di Jawa Tengah itu membuat soal sebagai berikut :
4+4+4+4+4+4= .... x .... = ....
Kepada putranya, Sang Ibu bertanya; “Apa yang kamu lihat dari soal itu Nak?” Sang Anak menjawab; “Angka 4 Bu..” Sang Ibu lalu menyuruh putranya menuliskan angka 4, maka jadilah formulasi seperti berikut ini :
4+4+4+4+4+4= 4 x .... = ....
Setelah putranya menuliskan angka 4 seperti di atas, Sang Ibu lalu menyuruh putranya menghitung jumlah angka 4 yang tertulis dalam soal tersebut. “Berapa angka 4 yang ada di soal itu Nak?” tanya Sang Ibu. “Ada 6 Bu,” jawab Sang Putra. “Ya sudah kamu tulis angka 6-nya” bimbing ibunya. Sang Putra menulis angka 6 jadilah formulasi seperti berikut :
4+4+4+4+4+4= 4 x 6 = ....
“Berapa hasil dari 4x6 Nak?” tanya Sang Ibu. Sang Putra langsung menghitung jari-jemarinya untuk menjumlah hasil perkalian 4x6. Beberapa saat kemudian sang anak menjawab, “24 Bu!” jawabnya keras. Lalu ditulislah angka 24 itu sebagai hasil akhir dari soal di atas menjadi sebagai berikut ini :
4+4+4+4+4+4= 4 x 6 = 24
Itulah alur penalaran anak-anak setingkat kelas 2 SD, dan seperti itu pulalah alur penalaran kebanyakan orang, bahkan seorang sarjana kependidikan (S1) PAUD pun mengikuti alur penalaran anak kelas 2 SD dan kebanyakan orang. Apa yang tersurat dan dilihat pertama kali oleh anak-anak setingkat kelas 2 SD itulah yang kemudian masuk prioritas pertamanya, sesuatu yang tersirat (tak tercatat) menjadi prioritas berikutnya. Yang terlihat dalam soal di atas adalah angka 4, maka kemudian angka 4 itulah yang menjadi prioritas untuk ditulis dalam menjawab soal, angka 6 yang tersirat baru muncul kemudian.
Lagi pula apa bedanya sih 4 x 6 dengan 6 x 4? Kan cuma beda depan-belakangnya saja, hasilnya toh sama 24. Lagi pula ini soal mengerjakan tugas, kalau hasilnya sama kenapa nilainya berbeda? Ini kan bukan acara minum obat, di mana 1 x 3 berbeda dengan 3 x 1, karena perkalian yang ini tidak membutuhkan hasil sama dengan (=), lagi pula urusan minum obat untuk anak setingkat kelas 2 SD kan masih ada orang tuanya yang mendampingi seklaigus memberi petunjuk, kapan dan seberapa dia harus meminum obatnya 1 x 3 atau 3 x 1, bukankah demikian? Ya sudah... Kata Gus Dur, “Gitu aja kok repot!” (Banyumas; 23 September 2014)