Sekitar enam tahun yang lalu penulis divonis mengidap darah tinggi (hipertensi). Awal ceritanya begini, waktu itu ipar penulis tengah punya hajat aqiqah putri keduanya. Karena tergolong keluarga besar, meski syariat menyebutkan bahwa kambing yang harus disembelih cukup satu ekor, tapi pihak keluarga menyembelih tiga ekor sekaligus agar bisa dibagi ke sanak, tetangga dan saudara lebih merata. Keadaan ini dijadikan kesempatan bagi penulis yang kebetulan hobby kambing untuk "pesta kambing", mulai dari sate hingga gulai kambing semua dinikmati oleh penulis dengan enjonya.
Masih belum puas dengan masakan rumah, sepulang menjemput istri mengikuti ujian Universitas Terbuka di sebuah perguruan tinggi di Purwokerto, penulis mengajak istri mampir ke sebuah warung sop kambing yang sudah lama menjadi langganan. Satu mangkuk sop kambing dan satu porsi sate ludes disantap, bahkan sisa istri yang tidak habis masuk perut penulis juga. Sepulangnya penulis tiba-tiba merasa leher sangat kaku dan kepala pusing yang tiada kira. Dua tablet obat sakit kepala yang dikonsumsi tak mengurangi keluhan yang penulis rasa, bahkan dua koyo panas di leher dan dua koyo di pelipis hanya menjadikan obyek tempelan kian panas saja.
Besoknya, penulis segera datang ke sebuah klinik kesehatan untuk meminta obat. Kebetulan waktu itu tidak ada dokter jaga, mantri maupun bidan, yang ada hanya seorang perawat. setelah masuk ke ruang periksa, sang perawat langsung meminta penulis untuk berbaring dan ia memasang alat tensi lengan penulis. Setelah dua kali ditensi, perawat bilang kalau tekanan darah penulis sangat tinggi. Berapa? 190/110 katanya. Wow! ini sungguh luar biasa, karena penulis belum pernah mengalaminya. Meskipun jarang berhubungan dengan dunia klinik, tapi sekali waktu penulis pernah "tensi" dan hasilnya normal 120/90. Ada apa ini? Sang perawat lalu memberi penulis obat yang terdiri dari Catopril, Nifedipine, Vitamin dan obat pereda nyeri.
Setelah dikonsumi dua kali, alhamdulillah sakit kepala dan leher yang kaku berangsung-angsur reda. Namun karena masih kurang yakin dengan hasil "tensi" sang perawat, sehari kemudian penulis mendatangai langsung rumah pemilik klinik. Setelah menceritakan keluhannya, penulis kembali "ditensi" dan ternyata hasilnya tidak berbeda  jauh, 180/100. Turun 10 digit karena penulis telah mengkonsumsi obat, dan obat yang sudah diterima supaya dilanjutkan konsumsinya hingga  habis dan setelah habis dianjurkan untuk kontrol kembali.
Dua tiga kali datang ke klinik yang sama, hasilnya tetap sama. Tensi hanya bisa turun sampai angka 170/90, itu pun dalam kondisi yang paling santai. Setelah itu penulis memutuskan untuk pindah ke kllinik/dokter lain, hasilnya tetap sama. Pindah ke klinik/dokter lainnya pun tidak berbeda, obat yang serupa dan hasil yang nyaris serupa pula. Dokter (umum) yang didatangi penulis selain memberikan obat memang memberikan saran agar penulis mengurangi konsumsi garam dan berhenti merorokok. Memang kedua-duanya tidak penulis laksanakanan. Mengurangi garam? Seperti apa dan seberapa konsumsi garam yang boleh dikonsmsi menjadi persoalan tersendiri bagi penulis, makanan tak asin, tentu tak enak. Berhenti merokok? Penulis sudah mencoba hingga 6 bulan, tapi tidak merubah tensi, bahkan belakangan tensi penulis tembus hingga 200/130, Alamak! Ini stroke resikonya, batin penulis.
Sejumlah artikel tentang kesehatan sudah banyak dilahap oleh penulis, obat alternatif seperti herbal dan obat China juga penulis coba, tapi hasilnya tetap nol! Karena itu penulis mencoba hidup dengan cara ndableg terlebih ada seorang dokter yang menghibur saya dengan kata-kata, "Santai saja, Iqomat itu biasanya pasti didahului oleh adzan", maksudnya resiko stroke yang mengancam penulis katanya tidak serta langsung menyerang (iqamat), pasti ada tanda-tandannya (adzan) terlebih dahulu. Memang setelah kejadian pertama, sakit kepala yang tak terkira dan leher yang teramat kaku, setelah itu nyaris tidak pernah merasa sakit kepala kembali, satu-satunya keluhan penulis memang kadang-kadang leher terasa kaku, tapi setelah dibawa istirahat semua kembali seperti biasa.
Dengan kondisi yang seperti ini, seharusnya penulis mendatangi internist atau dokter spesialis dalam untuk berkonsultasi mengenai apa yang diderita penulis. Tapi entahlah semua itu tidak terpikirkan, meskipun penuh kekhawatiran, penulis mencoba menikmati hidup apa adanya, berusaha enjoy meskipun dokter yang lain sudah menyarankan agar berhati-hati, karena stroke datangnya secara tiba-tiba terlebih bagi penderita hipertensi seperti yang diderita penulis.  Dan, apa yang menjadi kekhawatiran penulis ternyata benar-benar terjadi, Sabtu tanggal 29 Agustus 2015, monster menakutkan yang bernama stroke itu akhirnya menghampiri penulis.  BERSAMBUNG KE : Aku Dan Stroke (Part-2)
Banyumas, 02 Juni 2016
Met Rehat Semua!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H