Menaikkan harga rokok hingga 50 ribu per bungkus diprediksi tidak serta-merta akan mengurangi jumlah perokok secara drastis. Rokok Mahal, Para Pecandu Tak Kehilangan Akal, khususnya mayoritas pecandu rokok yang berasal dari kalangan menengah ke bawah, mereka akan tetap merokok dengan cara “back to basic” kembali ke merokok era tradisional sebelum pabrikan rokok booming seperti sekarang ini.
Kenaikan rokok secara drastis alih-alih tidak bisa mengurangi jumlah perokok, malah akan mengakibatkan “kerugian” bagi pemerintah sendiri. Ada banyak lini kehidupan yang tergantung pada pabrik rokok, mulai dari petani tembakau, buruh pabrik rokok yang jumlahnya lebih dari 6 juta orang, pengusaha, pedagang, pengecer, bahkan hingga ke pembinaan sejumlah cabang olah raga dan bea siswa prestasi yang selama ini “dibiayai” oleh sejumlah perusahaan rokok terancam bubar, sementara pemerintah sendiri belum bisa melakukan “pembinaan” secara maksimal.
Dengan harga rokok yang selangit, pemerintah juga berharap pendapatan pajak (cukai) akan melonjak pula. Tapi kalau harga selangit, masyarakat perokok dipredikisi akan bermigrasi dari rokok pabrikan ke rokok tradisional, harapan pemerintah mendapatkan infus dana besar melalui cukai tembakau malah akan sia-sia. Pendapatan cukai tembakau (rokok) di tahun 2016 yang nilainya sampai dengan 141,7 trilliun di tahun-tahun setelah pemberlakuan harga rokok sampai 50 ribu per bungkus bisa malah anjlok, turun drastis karena masyarakat tidak lagi membeli rokok pabrikan. Padahal saat ini industri pertembakauan memberi kontribusi perpajakan terbesar (52,7 persen) dibanding BUMN (8,5 persen), real estate, dan konstruksi (15,7 persen) maupun kesehatan dan farmasi (0,9 persen). Pemerintah yang rugi sendiri kan?
Salah satu produsen rokok nasional, PT HM Sampoerna Tbk, menilai rencana kenaikan cukai rokok harus dipertimbangkan secara menyeluruh. "Perlu kami sampaikan bahwa kenaikan harga drastis maupun kenaikan cukai secara eksesif bukan merupakan langkah bijaksana," ujar Head of Regulatory Affairs, International Trade, and Communications Sampoerna, Elvira Lianita, melalui pesan tertulis kepada Kompas.com, Minggu (21/8/2016). Menurutnya, aspek yang perlu diperhatikan sebelum menaikkan cukai rokok adalah semua mata rantai industri tembakau yang meliputi petani, pekerja, pabrik, pedagang, hingga konsumen. Baca; kompas
Untunglah, kabar bahwa rokok akan naik hingga 50 ribu per bungkus baru sekedar wacana, sehingga para pacandu rokok, petani tembakau, dan para pihak terkait akhirnya bisa bernafas lega. Pemerintah dijamin tidak akan menaikkan harga rokok setinggi langit itu secara tiba-tiba. Harga rokok kemungkinan memang akan dinaikkan, namun secara bertahap mulai tahun 2017 yang akan datang dengan prosentase kenaikan sekitar 10% dari harga (cukai) yang berlaku tahun ini.
Kenaikan harga rokok hingga 50 ribu rupiah, sama dengan pemerintah menaikkan tarif cukai hingga 365%, angka yang mustahil untuk diterapkan karena akan menimbulkan efek karambolnya yang luar biasa. Soal berapa besar prosentase kenaikan tarif cukai rokok pada tahun 2017 nanti masih dalam pembahasan. Pemerintah memang secara rutin menaikkan tarif cukai setiap tahun. Kebijakan itu biaanya diumumkan tiga bulan sebelum pergantian tahun anggaran.
Dirjen Bea Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi menyatakan, pemerintah belum menetapkan tarif baru cukai rokok dan harga jual eceran. ”Sekarang fase koordinasi dan komunikasi oleh kementerian/lembaga. Kemudian pemerhati kesehatan, asosiasi pabrik rokok, dan tentu kementerian terkait yang meliputi Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan,” jelasnya sebagaimana dilasir smcetak.
Pemerintah tidak akan serta merta menaikkan harga (cukai) rokok secara sepihak tanpa berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Pasalnya, aspirasi banyak pihak yang berkepentingan dalam industri rokok harus didengar. ”Faktor yang mempengaruhi kan banyak. Yang concern (peduli) terhadap masalah kesehatan, yang concern terhadap petani tembakau harus didengar, juga buruh-buruh pabrik.”
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan bahwa terkait wacana kenaikan harga rokok hingga 50 ribu, pihaknya (kemenkeu) belum membuat aturan baru mengenai harga jual eceran atau tarif cukai rokok. "Saya paham ada hasil kajian salah satu pusat kajian ekonomi apa yang disebut sentifitas kenaikan harga rokok terhadap konsumsi rokok," ujarnya di Kantor Kemenkeu, Jakarta, Senin (22/8/2016). Meski belum memutuskan kenaikan cukai rokok, pihaknya mengaku sedang mengkaji kenaikan tarif cukai, dan memastikan kebijakan harganya nanti akan dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. (tribun)
Wacana kenaikan harga rokok yang fantastis itu bermula dari hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia. Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Hasbullah Thabrany mengatakan, berdasarkan hasil survei yang dirilis pada Juli 2016, harga ideal untuk mencegah pelajar dan orang miskin mengonsumsi rokok adalah Rp 50 ribu per bungkus. Menurut dia, jumlah perokok di Indonesia 34-35 persen dari total penduduk. Dari jumlah itu, 67 persen perokok laki-laki dan 4 persen perempuan. Perokok di Indonesia harus dikendalikan. Salah satu caranya dengan menaikkan harga.
Tapi, menaikkan harga rokok ternyata tidak bisa menjadi jaminan masyarakat (perokok) akan serta-merta berkurang secara drastis pula, bahkan negara justru bisa “merugi” karenanya. Ribuan buruh pabrik rokok terancam PHK, para petani tembakau akan kehilangan pekerjaan, pabrik-pabrik terancam gulung tikar, pembinaan olah raga dan paket bea siswa yang selama ini didanai pabrik rokok pun akan bubar, dan masih banyak efek karambol yang akan mengikutinya.