Setelah gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden masuk pada Januari 2013, akhirnya diputus pada 26 Maret 2013, dan baru diumumkan pada Januari 2014, ternyata Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 30 Mei 2013 masih sempat membuat surat ke Aliansi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak, bahwa keputusan masih dalam proses. Effendi Ghazali dkk menuduh MK telah melakukan pembohongan publik, karena MK melalui surat tertanggal 30 Mei 2013 menjelaskan bahwa keputusan masih dalam proses, namun sesungguhnya 66 hari sebelumnya tepatnya tanggal 26 Maret 2013 perkara sudah diputus.
”Surat tanggal 30 Mei yang dikirim oleh ketua panitera Sidahuruk, isi suratnya berdasarkan arahan bapak ketua MK, bahwa saat ini perkara a quo dalam proses pembahasan rapat permusyawaratan hakim (RPH) dalam rapat tertutup. Padahal sudah diputus Maret. Ini kan kebohongan namanya,” jelas Effendy Ghazali di Warung Cikini.
Ini adalah perkara serius yang harus dicarikan jawaban yang logis atas sebuah kebohongan publik seperti ini. Ketua DPP PPP Lukman Hakim Saifuddin meminta Effendi membawa masalah surat bohong ini ke dewan etik. Hal itu dalam rangka mengembalikan rasa kepercayaan publik ke MK. Sementara itu, pengamat Pemilu Ray Rangkuti mengatakan, penundaan pembacaan putusan tentang Pemilu Serentak, dan adanya surat bohong tersebut, perlu diusut tuntas. Bila tidak akan membebani MK menjelang Pemilu 2014, semua ada disini.
Prof . Hamdi Muluk yang masuk dalam tim penggugat meminta MK memberikan penjelasan mengenai masalah tersebut. "Saya terusik. Benar juga patut dipertanyakan. Setidaknya MK harus membuat penjelasan karena banyak pertanyaan yang harus dijawab," MK tidak bisa diam terus-terusan, defense mechanism, semakin lama semakin kelihatan bolongnya, banyak keanehannya.
Hamdi mengaku kecewa mengapa putusannya baru dibacakan pada 23 Januari 2014 tidak 26 Maret 2013 seperti apa adanya. Padahal, jika dibacakan sebelum 9 April 2013 Pemilu serentak bisa digelar pada tahun ini. "Kenapa putusannya dilambatkan sampai 10 bulan? Kita menangkap apakah supaya bisa ada alasan agar diberlakukan 2019? Masuk akal juga. Padahal kalau diputus Mei 2013 cukup waktunya (Pemilu serentak 2014)," jelasnya di media ini.
Putusan MK atas beberapa pasal di UU No 42 Tahun 2008 yang berimplikasi pada pelaksanaan pemilu secara serentak dalam Pemilu 2019 mendatang dinilai inkonsisten dan bersifat politis. Presidium Asosiasi Sarjana Hukum Tata Negara Indonesia (ASHTN Indonesia) Afifi mengatakan, setelah pemilu legislatif dan pilpres yang serentak digelar harusnya disertai dengan pembatalan pasal 9 terkait presidential threshold 20 persen kursi DPR. Semua parpol peserta pemilu, menurut alumnus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) ini, semestinya memiliki hak yang sama untuk mengajukan capres dan cawapres. ”Pemilu serentak harus disertai penghapusan presidential threshold. Putusan MK ini tidak tuntas,” jelas Afifi.
Afifi juga mempertanyakan bagaimana penentuan syarat presidential threshold sebesar 20% sedangkan pemilu legislatif dan pemilu presiden dilaksanakan serentak. Presidium ASHTN, Sudiyatmiko Aribowo, menyatakan putusan MK yang sifatnya conditional constitution mengandung unsur politis. Asas kemanfaatan yang selama ini kerap digunakan MK justru untuk melegalkan putusannya. ”Kami melihat, putusan MK ini lebih bersifat politis ketimbang hukum,” ujar alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Presidium lainnya Mei Susanto menyebutkan putusan MK ini juga memberi pesan penting bagi partai politik untuk menyiapkan rekruitmen kepemimpinan nasional secara baik. Putusan MK ini juga memberi pesan penting bagi partai politik untuk menyiapkan secara serius calon pemimpin nasional,” kata penulis buku ”Hak Budget Parlemen di Indonesia”. jelas Mei Susanto.
Dari hari ke hari, hasil putusan MK bukannya semakin jelas arah dan argumentasinya, melainkan semakin nggalmbyar, abu-abu, terlebih setelah diketahui bahwa MK melakukan pembohongan publik dengan mengirimkan surat tertanggal 30 Mei 2013 yang isinya menjelaskana bahwa perkara uji materi UU Pilpres masih dalam proses, sementara yang sesungguhnya (26 Maret 2013) sudah diputuskan. Bagaimana MK mau memberikan penjelasan dan pertanggungjawabannya kepada publik? Dan apakah kepercayaan masyarakat kepada MK pasca penangkapan Aqil Mochtar kan pulih atau sebaliknya? Sebagai masyarakat awam kita hanya bisa menunggu perkembangan berikutnya. (Agam; 26 Januari 2014)
Salam Kompasiana!
Tulisan terkait :
1.Kenapa Mahfud MD Tunda Umumkan Putusan MK
2.Kata Mereka Tentang Pemilu Serentak 2019
3.Awas Bang Yusril Main Mata Dengan Ketua MK