Mohon tunggu...
Abd. Ghofar Al Amin
Abd. Ghofar Al Amin Mohon Tunggu... wiraswasta -

|abd.ghofaralamin@yahoo.co.id|

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Kompasianer Sampah Itu adalah

18 Maret 2015   13:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:28 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_373592" align="aligncenter" width="600" caption="Sharing and Connecting Ala Blog Kompasiana (foto; kompasiana)"][/caption]

Pertama bergabung dengan kompasiana pada tanggal 5 September 2013. Baru lima hari bergabung tepatnya pada tanggal 9 September 2013, saat memposting artikel kedua dengan judul Berangkat Hajji Itu Tidak Penting, tulisan sederhana penulis tersebut langsung mendapatkan predikat “tulisan sampah” dari sesama kompasianer (yang mungkin) senior dan masuk kategori kompasianer hebat. Agak kaget juga, karena baru beberapa hari bergabung langsung mendapat “bully” dari sesama kompasiner, sempat agak “ngeper” juga, jadi berfikir apakah hidup di kompasiana perlu dilanjut atau tidak?

Terlebih saat mendengar kata “sampah” yang terlintas di benak kita adalah sesuatu yang berkonotasi jelek, mulai dari barang bekas, bekas pembungkus, kotor, bau tidak sedap, lalat, kuman, sumber penyakit, penyebab banjir dan seabreg predikat kekotoran lainnya yang pantas disematkan pada sesuatu yang bernama sampah. Apakah tulisan penulis tersebut seburuk itu? Penulis mencoba membaca ulang apa yang telah diposting sebelum membalas komentar sesama kompasianer yang memberikan komentar miring di kolom komentar artikel penulis.

Baris per baris, bait per bait coba penulis baca, serasa tidak ada yang salah, tapi kenapa disebut “sampah”? penulis bahkan sempat berniat menghapus komentar yang “mengotori” kolom komentar itu. Tapi apakah itu tindakan bijak? Ternyata tidak! Menghapus menunjukkan kita pengecut, tidak gentle dan mengindikasikan sebagai person yang anti kritik. Akhirnya penulis biarkan saja komentar tersebut, dan ternyata di kemudian hari penulis akhirnya tahu bahwa komentar yang jauh lebih pedas sudah menjadi hal yang biasa di berbagai artikel yang lalu-lalang di kompasiana ini, jadi untuk apa “ngeper” apalagi mundur? Lanjuuttt...

[caption id="attachment_373598" align="aligncenter" width="593" caption="Artikel penulis yang diberi predikat "]

1426661244227968978
1426661244227968978
[/caption]

Lalu apakah orang yang memberikan penilaian terhadap tulisan kita sebagai “tulisan sampah” sekaligus memberikan predikat kepada kita sebagai “penulis sampah” ataupun “kompasianer sampah” memiliki kelas yang lebih baik dari kita? Mampu memposting tulisan yang lebih baik dari yang kita sajikan? Sekurang-kurangnya menurut penilaian admin, yang konon kabarnya memberikan penilain objektif dengan margin error 10%. Dari seluruh tulisan yang masuk kompasiana hanya 10% tulisan berkualitas yang “terlewatkan” oleh admin karena faktor human error, mulai dari lupa, sibuk, bahkan sampai ngantuk.

Jawabannya bisa iya bisa tidak. Tapi untuk kasus kompasianer yang menjugde bahwa tulisan penulis adalah “tulisan sampah”, hingga tulisan ini diposting, dari seluruh tulisan yang masih tersimpan di profil yang bersangkutan setelah dicermati satu per satu, tak ada satu pun tulisan yang diganjar “HL” oleh admin sebagai ukuran bahwa tulisan-tulisan tersebut berkwalitas, setidak-tidaknya menurut kaca mata admin. Ternyata masih selevel dengan penulis, kok ya tega-teganya ngata-ngatain “sampah”. Tapi entah lah kalau ada beberapa tulisan yang masuk kolom “TA” atau kolom terhormat lainnya, penulis memang tidak tahu, karena admin tidak memberi tanda khusus pada tulisan sebagaimana kategori-kategori dimaksud.

Lalu sebenarnya siapa kompasianer sampah itu? Berikut beberapa ciri-ciri kompasianer sampah menurut versi penulis yang dirangkum dari berbagai tulisan dan pendapat. “Kompasianer Sampah” adalah mereka yang terindikasi dari sisi konten tulisanya merupakan; (1) Artikel berbau gosip, (2). Artikel kumpulan celotehan dengan argumen setengah-setengah atau argumen dangkal, (3). Artikel hasil kumpulan tweet, (4). Artikelnya yang hanya sekadar laporan ulang berdasarkan liputan media utama, (5). Artikel ulangan, (6). Artikel saduran atau copy paste, (7). Artikel dengan opini dangkal, (8). Artikel tendensius, (9). Artikel sentimen negatif, (10). Artikel berbau SARA, (11). Artikel curhat atau curcol, (12). Reportase dangkal dan tak berdasar fakta, (13). Artikel dengan opini pincang, (14). Artikel berisi hujatan berkedok opini, (15). Ulasan televisi atau media lain dibahas ulang dan diperdebatkan terus-menerus.

Dari sisi sharing and connecting, “Kompasianer Sampah” ditengarai lebih mementingkan kwantitas ketimbang kwalitas tulisan. Kerjar tayang menjadi prioritas para kompasianer sampah, bila perlu dalam sehari menayangkan dua sampai tiga tulisan, soal kwalitas urusan belakangan. Karenanya kompasianer sampah mengalalkan segala cara untuk share artikelnya, salah satunya dengan cara “menitipkan” link artikelnya di beberapa kolom artikel teman dengan tujuan agar tingkat keterbacaannya bisa lebih tinggi dari angka rata-rata, bila perlu (meminjam istilah Sahabat Gatot Swandito) membuat geng.

Fungsi geng itu apalagi kalau bukan untuk melakukan bekerja sama “simbiosis mutualisme”, saling klik, saling comment dan saling vote. Sehingga tulisan sampah pun bisa mendapatkan klik, comment dan vote yang luar biasa banyaknya. Ujung-ujungnya dengan sangat “terpaksa” admin akan menempatkan artikel anggota geng tersebut ke kolom artikel “ter-ter”, sehigga wajar-wajar saja kalau artikel yang masuk kolom “ter-ter” hanya artikelnya kompasianer yang itu-itu saja. Ah pasti ngaco nih! Tapi jangan salah, admin ternyata juga memberikan penghargaan kepada kompasianer dengan tingkat produktivitas (kwantitas-pen) tinggi, seberapapun kwalitasnya. Admin oke-oke saja, kenapa yang lain mesti sewot? Hihi..

Sementara menurut sebagian “Kompasianer Hebat” hal tersebut merupakan perilaku yang tidak etis, kalaupun tidak haram ya makruh hukumnya, “makruh tanzih”, makruh yang mendekati haram. Menitipkan link artikel di kolom komentar hanya “mengotori” alias menyampahi kolom-kolom mereka saja. Belum lagi ada yang berargumen bahwa logika “titip” suatu saat nanti pasti akan diambil lagi oleh pemiliknya, tapi yang terjadi dititipkan selama-lamanya, para penitip tidak pernah mengamil kembali titipannya. Jadilah titipan-titipan itu “sampah abadi” di lapak mereka yang hebat-hebat. Inikah yang menjadikan mereka risih lalu meninggalakan kompasiana?

Kompasianer Hebat lainnya beralasan, kalau memang sebuah artikel dinilai bagus, layak dan berkwalitas tapi admin alpa menempatkannya pada maqam yang semestinya, itupun tidak perlu “dijajakan” kemana-mana. Logikanya, ibarat barang dagangan yang bagus, tanpa dijajakan kemana-mana pasti para pembeli (pembaca) akan mencarinya sendiri. Apa benar begitu? Wah kalau benar, perusahaan-perusahaan multi nasional dari berbagai jenis produk apapun pasti akan banyak menghemat biaya periklanan, sebab tanpa iklan masyarakat akan mencari sendiri produk tersebut dan perusahaan biro jasa periklanan tentu akan terancam gulung tikar karena sudah tidak ada lagi yang membutuhkan jasanya. Hoho..

Siapapun Anda, bahkan sudah bersertifikat, maksudnya sudah terverifikasi biru sekalipun semacam sahabat Gatot Swandito, kalau masih berperilaku seperti gambaran-gambaran di atas, tulisanya “hanya gosip” dan hoby menjajakan link di mana-mana, bisa jadi Anda masih selevel dengan penulis dan masuk kategori “Kompasianer Sampah”. Makanya mulai sekarang, kalau mau share link artikel di kolom komentar jangan ditulis “titip”, tulis saja “numpang mejeng”, “numpang promo” atau apalah yang bukan “titip”, sebab sekali lagi, logika “titip” itu artinya pada suatu hari nanti pasti akan diambil kembali titapannya. Sudah pernahkah Anda akad “titip” lalu di kemudian hari mengambilnya kembali? Belum kan? Siapa mau komplen? hehe..

Itulah catatan “sampah” mengenai ciri-ciri “kompasianer sampah” yang penulis ketahui, bila masih banyak kekurangan silahkan menambahi di kolom komentar, atau membuat artikel tandingan pun tidak dipermasalahkan oleh admin, soalnya kompasiana ini bukan punya “eyang gue” juga bukan punya “eyang loe”. Sebagai penutup, jangan pernah sepelekan “sampah”, ingat Haji Lulung, memulai dari nol hingga poll, from zero to hero. Lepas dari kontroversinya, kalau tak ada sampah, mungkin Haji Lulung tak “sehebat” sekarang ini. Betul? Hehe..

Khusus buat Yth. Admin, tolong tulisan ini ditaruh di kolom HL, TA atau FA agar banyak yangbaca. Tapi kalau admin tidak berkenan, nanti penulis akan menitipkan, eh.. maksudnya mempromosikan di artikel-artikel yang ditempatkan di kolom HL, TA dan FA oleh admin, boleh kan? Soalnya penulis khawatir, jangan-jangan tulisan ini “sampah” berkwalitas yang lepas dari pantauan admin. Boleh ya? Boleh ya? Masa ga boleh? Hehe..

Yuk daur ulang sampah jadi barang berharga!

Sebelumnya :

Profesi Pengemis Ternyata Lebih Menjanjikan

Kapan Wina Lia Tampil Di Kompasiana TV?

Mati Lampu, Batal Tampil Di Kompasiana TV

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun