Mengapa Arcandra Tahar (AT) diperlakukan begitu istimewa? Para pejabat tinggi negeri ini “mati-matian” membela AT dan berusaha untuk mengegolkan agar yang bersangkutan bisa menjadi WNI. Alhasil pemerintah (Presiden Jokowi) telah berhasil menetapkan AT kembali menjadi WNI “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Ini jelas menimbulkan pro-kontra yang berkepanjangan, bagaimana tidak? Seorang Ivanna Lee mantan pebulu tangkis yang telah berjasa mengharumkan Indonesia butuh waktu belasan tahun untuk bisa menajdi WNI, lah ini AT hanya butuh waktu 15 hari saja, dan... naga-naganya AT akan dikembalikan ke “posisinya” semula menjadi Menteri ESDM yang sempat dijabatnya dalam waktu 20 hari itu.
Kabar bahwa AT akan kembali diangkat menjadi Menteri ESDM sudah menjadi isu hangat pekan ini. Sinyal itu juga sudah datang dari berbagai kalangan, salah satunya politisi PDIP Masinton Pasaribu yang menyebutkan bahwa sudah tidak ada halanga bagi AT untuk kembali menjadi menteri, karena persayaratan yang diatur dalam pasal 22 ayat 2 UU nomor 39 tahun 2008 tentang persaratan menjeadi meneri harus WNI, dan AT sudah resmi menjadi WNI sejak tanggal 1 September 2016, jadi apalagi kendalannya? Tidak adakan?
Mengangkat kembali AT menjadi menteri adalah hak prerogratif Presdien Jokowi. Meskipun demikian harus dipertimbangkan masak-masak, jangan sampai justru menimbulkan kegaduhan yang berkepanjangan. Apakah masalah AT itu hanya issu domestik, ataukah ada agenda global yang diusung oleh asing, sebut saja Amerika. Sebab dua kekuatan internasional yang saat ini tengah berebut pengaruh dan kuasa di negeri kita adalah Tingkok dan Amerika. Kenapa harus AT lagi? Jangan-jangan Amerika punya agenda dan kepentingan “terselubung”di dalamnya.
Ada beberpa hal yang menjadi alasan, bahwa AT tidak layak diangkat kembali menjadi Menteri ESDM. Pertama, menabrak aturan. Ya, AT jelas telah melanggar aturan kewarganegaraan. Dia waktu itu memiliki paspor Amerika, tapi saat ditawari menjadi menteri tidak mau berterus terang kalau dirinya berkewarganegaraan ganda.Masa iya orang sekelas AT tidak memahami tentang kewarganeraaan? So, pelanggar Undang-Undang apa masih layak diangkat menjadi menteri? Ini soal kepatuhan kepada aturan, kepatuhan Undang-Undang, kepatuhan kepada legalitas ketatanegaraan yang ada. Aturan dibuat untuk dipatuhi, bukan untuk dilanggar.
Kedua, masalah nasionalisme, dengan telah mengangkat sumpah menjadi warga negara asing (Amerika), nasionalisme AT patut dipertanyakan. Aktivis Sri Bintang Pamungkas mencurigai AT sebagai “agen asing” (Amerika). Dia dan Sri Mulyani Indrawati dianggap lebih mewakili kepentingan Amerika dibanding kepentingan nasional. Khusus AT, kabarnya dia bergaji 1 juta dollar AS per tahun di Amerika, sementara di Indonesia hanya bergaji 100 ribu dollar AS per tahun. Kalau tak ada “yang lain-lain”, masa iya, dia rela melepas gaji 1 juta dan hanya memilih yang 100 ribu saja? Apa karena saking nasionalisnya?
Ketiga, kewarganegaraan super kilat. Proses “naturalisasi” AT yang super kilat, dengan cara “potong kompas”, bahkan “potong Undang-Undang” yang bertentangan dengan UU Kewarganegaraan jelas sangat menciderai penegakan supremasi hukum. Untuk apa UU dbuat, kalau ujung-ujungnya ditabarak juga, apalagi hanya untuk seorang AT. Di mana wibawa pemerintahan Jokowi? Malu lah jadi tontonan negara tetangga kan? Soal tabrak-menabrak UU baca selengkapnya artikel Daniel Ht Dasar-Hukum-Status-Kewarganegaraan-Arcandra-Sangat-Lemah
Keempat, banyakyang lain. Untuk mengisi jabatan Menteri ESDM yang kosong tentu tidak hanya ada satu nama AT saja. Masa iya, dari ratusan juta penduduk Indonesia tidak ada orang yang selevel atau bahkan lebih dari AT. Banyak plesiran dan wisata, pasti akan ditemukan orang-orang yang selevel atau bahkan lebih dari AT, tapi kalau “ngumpet” di kamar saja, orang terbaik dan terpas di kementerian ESDM ya hanya AT saja. Lagi pula, kalau “dipaksa” menjadi menteri lagi, apa enaknya bekerja di bawah “tekanan publik” yang terus memelototinya? Kalau dia tetap nyaman bekerja di bawah tekanan publik yang terus mendera, bukankah ini menambah kecurigaan, jangan-jangan AT tak sekedar “mengabdi” untuk negara, tapi untuk yang lain juga.
Kelima, banyakyang netral. Sebagian menilai bahwa AT orang yang netral, karena dia orang profesional murni, tidak berbasis parpol. Kebijakan-kebijakan yang akan diambil di kemeterian pasti pure untuk bangsa dan negara, tidak ditumpangi oleh kepentingan parpol-parpol tertentu yang banyak “cing-congnya”. Awalnya memang bisa begitu, tapi setelah lama menjabat dan bergaul dengan banyak orang, terlebih dengan orang-orang parpol, bukan tidak mungkin suatu saat nanti bisa tidak netral juga karena pengaruh pergaulan, tapi semoga ini tidak terjadi. Lah, soal netralitas, selain AT di negara kita sepertinya juga masih banyak para profesional netral yang tidak atau belum terinveksi virus “piktor” parpol.
Sebenarnya masih banyak alasan lain, tapi sementara cukup 5 saja. Sebagai penutup, soal pengangkan AT kembali menjadi menteri, sekai lagi, memang hak prerogratif presiden. Tapi kalau sekiranya hal itu tidak membawa banyak “untung” untuk negara, untuk pemerintahan Jokowi-JK sendiri, atau bahkan malah “merugikan” negara, sebaiknya Jokowi tidak usah mengangkatnya kembali menjadi menteri. Banyak lahan di laur jabatan menteri untuk AT agar dia bisa menunjukkan baktinya untuk negara tercinta kita ini bukan? (Banyumas; 10September 2016)
sumber; kompas, sm
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H