Mohon tunggu...
Abd. Basid
Abd. Basid Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

penghuni di basidabd99[at]yahoo[dot]co[dot]id

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Efek Modernisasi Bahasa

21 Agustus 2012   23:06 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:28 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13455910841040621952

[caption id="attachment_194324" align="aligncenter" width="600" caption="Gambar: bahasa.kompasiana.com"][/caption] Suatu ketika, ketika saya dalam perjalanan rute Sidoarjo-Surabaya, di tengah perjalanan, yang waktu itu penulis mengambil jasa lyn, tidak sengaja mata tertuju ke sebuah tulisan “DI JUAL”, dengan huruf kapital, yang ditempel di kaca depan beberapa mobil yang berjejer rapi, yang tentunya sebagai bentuk informasi bahwa mobil-mobil yang berjejer itu siap dijual. Mendapatkannya, saya “berontak” dalam hati “kok di jual?”. Tidak hanya di Surabaya, hal serupa saya temukan juga di Jakarta. Ketika saya sempat jalan-jalan ke Jakarta di akhir tahun lalu, di tengah perjalanan juga sempat menemukan hal yang serupa di beberapa tempat. Ini hanya segelintir contoh kasus dan tentunya masih banyak hal-hal serupa dengan kasus yang sama. “Di jual”. Kata itu mungkin tidak ada apa-apanya kalau kita lihat sekilas. Tapi kalau kita baca sekali lagi dan penuh perhatian, maka pada kalimat itu pasti akan ditemukan kejanggalan dalam penulisannya. Mengapa tidak, karena dalam teori literatur Bahasa Indonesia ada aturan bahwa awalan “di” tidak perlu dipisah apabila disambungkan dengan kata yang tidak menunjukkan tempat. Dalam kasus berbeda juga ditemukan—yang saya dapatkan dari buku Mind Writing (2010), alkisah; sekitar pukul sebelas ada seorang ibu (sebut saja Ibu Sunti) duduk santai di depan sebuah SD tempat anaknya sekolah dan menunggu anaknya pulang. Dan tak selang beberapa lama, gadis cantik bernama Arni yang tidak lain adalah anaknya datang memeluknya. “Sudah selesai nak..”, tanyanya spontan. Lantas, dilambaikannya lengan tangan kanannya, memanggil becak di seberang jalan. Di perjalanan pulang di atas becak, Bu Sunti bertanya; “tugas rumah Arni,dapat nilai berapa?”. Arni tidak menjawab. Kedua tangannya sibuk membuka lasreting tas mungilnya dan mengeluarkan satu buku yang bertuliskan “catatan tugas dari ibu guru”. Tanpa banyak bicara Arni memberikannya kepada mamanya. Tuturnya, “coba mama lihat sendiri”. Singkat cerita, akhirnya Bu Sunti membuka satu persatu halaman buku tugas anaknya tersebut. Dan tepat di halaman ke sepuluh, Bu Sunti menemukan hasil tersebut, terdapat pesan; “belajarnya perlu di tingkatkan (dengan spasi)”. Hal di atas, menunjukkan bahwa ternyata masih banyak warga kita sendiri tidak melek bahasa (Indonesia). Jika ada ungkapan “masak jeruk minum jeruk”, itu malah wajar. Tapi, sebuah keironisan ketika “jeruk” tidak tahu pada “jeruk” sendiri. Hal di atas memang bukan berarti menunjukkan bahwa mereka  benar-benar lalai atau memang tidak mengerti kaidah ketika menulis pesan “di jual” dan “di tingkatkan” di atas. Okelah, kita anggap mereka sedang lalai. Namun, kelalaian seseorang atas dasarnya seringnya dia meremehkan sesuatu yang dilalaikan tersebut. Dalam kasus ibu guru di atas, bila ibu guru tersebut lalai, berarti, dalam kesehariannya dia memang kurang begitu menerapkan teori literaturnya. Hemat saya, salah satu penyebab terjadinya seperti hal di atas adalah karena efek dari modernisasi. Gerak dinamis kehidupan yang selalu membawa pernak-pernik pembaharuan, semakin mengikis keutuhan bahasa sebuah negara. Generasi masa kini tidak lagi memakai bahasa baku sebagai komunikasi bahasa sehari-hari, dan malah berganti menggunakan bahasa yang tidak lain adalah pernak-pernik bahasa tersebut. Maka, lalailah mereka dengan teori bahasa negara sendiri. Bila sudah begini, maka persentuhan antara dunia tulis-menulis dan dunia remaja semakin menjauh. Hal ini menunjukkan bahwa hal kejurnalistikan semakin merosot, tidak seheboh seperti pada tahun 1980-1990-an. Kalau kita merujuk pada tahun itu betapa membuncahnya apresiasi masyarakat terhadap dunia literatur, di mana pada masa itulah mulai marak beberapa surat kabar yang memajang kolom sastra. Namun, sekarang? Membahas masalah ini memang tidak akan cukup di kolom pendek ini, karena  jika ingin mengintimi ironi di atas, seseorang perlu duduk berjam-jam guna membahasnya. Sebab kenyataannya, banyak sesuatu yang rasanya dirugikan oleh gerak modernisasi—termasuk bahasa. Jika terus demikian, maka bisa jadi dunia literatur semakin hari akan ditinggalkan masa. Untuk itu, marilah kita coba untuk membiasakan mempraktikkan dan menggunakan bahasa negara yang benar—khususnya dalam bentuk tulis.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun