Proyek food estate di Merauke, Papua, menjadi perhatian saat ini karena menjadi proyek strategis pemerintah guna mencapai tujuan kemandirian pangan. Proyek ini berencana memuat persawahan hingga 3 juta hektare, dengan pusat utama di Merauke. Keuntungan dari proyek ini diharapkan bisa meningkatkan infrastruktur pertanian, pertumbuhan ekonomi, dan produksi pangan. Akan tetapi, rasa optimis yang besar ini juga mengandung rasa khawatir yang besar pula terkait dampak kerusakan proyek ini pada lingkungan dan masyarakat sekitar.
Ambisi Pangan Nasional
Presiden Prabowo Subianto, bersama Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, memperlihatkan komitmen yang serius berkaitan dengan kesuksesan proyek ini. Ketika presiden dan Menteri Pertanian mengunjungi Desa Telaga Sari, Merauke, pada awal November 2024, untuk melakukan peninjauan secara langsung dari proses penanaman padi sampai panen padi sebagai gambaran keberhasilan proyek tersebut. Pemerintah bermaksut menaikkan hasil pertanian menggunakan sistem irigasi modern, penggunaan lahan yang optimal, serta alat pertanian yang lebih canggih. Melalui dukungan sistem dan alat tersebut, para petani di Merauke direncanakan bisa melakukan panen padi sampai tiga kali dalam satu tahun, dan bisa berpotensi menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional.
Disamping itu, juga didukung pembangunan jalan hingga 135 kilometer dengan tujuan mempermudah akses logistik dan distribusi hasil pertanian. Hingga hal ini bisa semakin mendukung terbentuknya sistem pertanian yang efektif serta berorientasi pada pasar (Tempo, 3/11). Pemerintah optimis karena proyek ini bisa berpotensi menjadi pondasi Indonesia menuju swasembada pangan. Akan tetapi, untuk mencapai keberhasilan, proyek ini membutuhkan focus dan perhatian tinggi pada teknisnya, serta didukung penyediaan sistem irigasi berkelanjutan, pemerataan distribusi pupuk, dan keberlanjutan teknologi alat dan mesin pertanian (alsintan). Apabila semua komponen ini bisa terintegrasi secara optimal, food estate di Merauke memiliki potensi besar untuk mengatasi masalah pangan di masa depan.
Kekhawatiran dan Penolakan Masyarakat Lokal
Tetapi, proyek ini juga memberikan rasa khawatir yang besar, apalagi berkaitan dengan masyarakat adat. Salah satu isu yang mendasari kekhawatiran tersebut yakni rencana alih fungsi sebanyak 1,1 juta hektare lahan di Merauke utara menjadi sawah padi. Hadirnya ribuan alat besar serta 2.000 eskavator yang sampai di Pesisir Wanam yang bersiap membangun sawah jutaan hektar di Wanam membuat komunitas adat Kima-kima dan Maklew merasa semakin khawatir, lebih khawatir lagi apabila dilakukan penggusuran lahan dengan tidak diberikan kompensasi secara adil.
Rasa curiga semakin mendalam karena munculnya kapal dan helikopter yang kerap melewati wilayah ini. Kendati Bupati Merauke Romanus Mbaraka menjelaskan bahwa helikopter tersebut hanya difungsikan untuk pemantauan lokasi sawah yang ada, namun tetap saja masyarakat setempat merasa terancam. Sebagian besar masyarakat percaya bahwa pemerintah akan mengorbankan tanah adat demi proyek besar ini (BBC Indonesia, 18/11).
Disamping kehilangan lahan, perhatian besar juga ditujukan pada lingkungan. Perubahan lahan secara besar memiliki potensi ancaman pada ekosistem alam, membuat rusaknya biodiversitas, dan menaikkan risiko timbulnya bencana misalkan erosi tanah dan banjir. Kehadiran militer yang mengamankan proyek ini memberikan kesan seperti bersiap akan adanya konflik, membuat masyarakat semakin takut dan khawatir.