“ ... Cause the flag still stands for freedom
and they can't take that away.
I'm proud to be an American
where at least I know I'm free ...“
Begitu bangganya bangsa Amerika Serikat dengan kebebasan yang mereka miliki dan nikmati di abad ke-21 ini. Semua orang seakan terhanyut dalam idealisme AS terhadap kebebasan. Freedom of speech, freedom of expresion, freedom of religion, dll. Amerika bisa dikatakan menjadi panutan internasional dalam hak kebebasan. Tetapi, AS tidak selalu senyaman sekarang ini. Dalam 234 tahun sejarahnya, Amerika Serikat mengalami berbagai proses pendewasaan yang menjadikannya seperti kini. Salah satu diantaranya adalah dalam hal persamaan hak. Khususnya persamaan hak pada kesetaraan gender.
Dalam The Declaration of Independence para penulisnya menuliskan bahwa “all men are created equal”.Baik itu pria maupun wanita, berkulit hitam ataupun putih. Namun di tahun kemerdekaannya, yaitu 1776, tidak bisa dipungkiri juga bahwa wanita masih belum diakui hak suaranya. Dalam pemikiran para perintis AS, itu tidak berkontradiksi dengan equality yang mereka junjung tinggi. Semua orang nilainya sama di hadapan Tuhan, tak terkecuali wanita. Tetapi tahap pemikiran mereka masih bisa dikatakan, naive. Dalam hal ini, saya mengambil kesimpulan bahwa the Founders menganut teori fungsional struktural. Wanita itu makhluk lemah, tidak bisa berpikir dengan baik karena terlalu mengandalkan hati dibandingkan dengan logika, wanita kerjanya pantas untuk di rumah saja, mengurus keluarga dan anak, masak, bebersih. Menulis, baca buku, berpolitik, “it’s a mans job.” Andaikata wanita diberi tanggung jawab seperti halnya lelaki, mengutip Naga Bonar, apa kata dunia?
Pada saat itu, wanita di Amerika sudah mendapat kebebasan seperti yang sudah dijanjikan dalam The Declaration of Independence. Tetapi hanya sebatas pada kebebasan personal. Dalam hal kebebasan sipil, wanita tidak diberi peluang sama sekali. Maksud kebebasan sipil adalah dapat atau tidaknya berpartisipasi dalam kekuasaan, mengungkapkan pendapat tentang kinerja pemerintah, dsb. Diskriminasi terhadap wanita inilah yang memicu pemikiran-pemikiran untuk menyetarakan hak wantia dan pria.
Anthusisme wanita Amerika menanggapi situasi politik yang terjadi dimulai dengan puisi-puisi kecil yang agak menyentil soal kebebasan secara implisit. Lambat laun, protes terhadap ketidakadilan ini ditulis dalam puisi yang lebih radikal. Kebebasan yang tidak mereka miliki dimetaforakan dengan perbudakan:
Oh! Isnt it a pity, such a preatty girl as I-
Should be sent to the factory to pine away and die?
Oh! I cannot be a slave,
For I’m so fond of liberty,
That I cannot be a slave.
Elizabeth Cady Stanton dan Lucretia Coffin Mott, dua feminis terkenal dari Amerika, merasa sangat kecewa terhadap orang-orang yang menghadiri World Anti-Slavery Convention di London pada tahun 1840. “The sincerity of abolitionists who, while eloqunetly defending the natural rights of slaves, denied freedom of speech to one-half the people of their own race.” Delapan wanita yang hadir dalam konfrensi itu, duduk di balik tirai, dianggap tidak ada, dan tidak diberikan hak untuk berbicara. Karena kekecewaan itu, Stanton dan Mott merencanakan untuk membuat organisasi untuk menyokong hak wanita. Organisasi beliau adalah cikal bakal tindakan wanita di Amerika Serikat untuk menyetarakan hak. Apakah berhasil? Hasilnya bisa dilihat sekarang.
Pada tanggal 18 Agustus 1920, amandemen ke sembilanbelas (Amendment XIX) kepada United States Constitution diratifikasi.
“ 1.)The right of citizens of the United States to vote shall not be denied or abridged by the United States or by any State on account of sex.
2.) Congress shall have power to enforce this article by appropriate legislation.” Amandemn ke sembilanbelas ini menyatakan penyetaraan hak wanita dan pria dalam memberikan suara.
Kebebasan yang kita lihat sekarang di Amerika sudah mengalami berbagai macam perubahan jika dibandingkan dengan rancangan kebebasan asli. Kebebasan sudah diatur agar mencakup lebih banyak kondisi, situasi, relasi, dan individu. Kebebasan sekarang sudah jauh melebihi expektasi freedom yang dirancang oleh founding fathers-nya Amerika. AS sekarang berumur 234 tahun. Berbeda jauh dengan Indonesia yang baru berumur 65 tahun. Semoga dengan seiring bertambah tuanya negara kita, bisa bertambah dewasa pula. Agar kebebasan untuk beragama, suku, ras bisa harmonis.
Mengapa diskriminasi hak wanita saya kategorikan dalam teori fungsional struktural? Karena pada abad ke-17 wanita masih dianggep sebagai yang mengurus rumah tangga saja. Wanita dipandang rendah. Itulah peran mereka dalam masyarakat. Sedangkan kalau pria dapat berpolitik, bekerja, bersekolah. Mereka dalam masyarakat berada di tingkat yang tinggi. Pada jaman itu, dengan pola seperti inilah akan terjadi suatu keharmonisan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H