Sesak dada merindukanmu.
Itu sungguh nyata
bagi aku, yang gaib ini.
Iya, sosok yang tak pernah kau anggap
ranting dan batang hidungya.
Padahal lepas
harapku, bahwa kau boleh bebas
berayun dengan teduh di sana
di bawah rambut hidung yang rindang
sesekali berdamai dengan rintik-rintik
lendir
yang menghujanimu ketika aku diberkatiÂ
"Hachimm," Tuhan memberkati.
lalu kau sambut, "Alhamdulillah."
Kita, menyendu.
Entah, sendu itu pertanda senang atau kekang.
Pikiranmu terhimpit antara keduanya
namun hati, melayang entah kemana.
Adapun jelas, itu membuatku cemas.
Dan, sakit ulu hati saat mencemaskanmu
rasanya sudah cukup elegan
bagi diriku, yang payah ini.
Yogyakarta, 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H