Saya tentu tidak berharap Anda membayangkan suatu analisis ilmiah yang sistematis seperti halnya langkah-langkah dalam suatu penelitian dalam membaca tulisan ini. Saya mencoba membuat komparasi tiga hal di sekitar kita yaitu barang-barang, buah dan kita manusia untuk mengidentifikasi suatu identitas. Sebelum membahas perbedaannya, Saya akan mengulas apa yang menjadikan ketiga hal ini sepadan untuk dibandingkan secara kasar. Cukup jelas tentunya bahwa semua mengalami proses produksi dan juga migrasi (perpindahan). Barang-barang diciptakan melalui suatu proses produksi baik secara manual maupun mekanik. Pun buah mengalami proses produksi dari benih ditanam, tumbuh pohon hingga kita panen buah dalam suatu siklus yang tetap. Demikian halnya dengan manusia, kita berkembang biak melalui suatu proses penyatuan “maaf” sperma dan sel telur dalam rahim seorang Ibu. Hingga bagian ini, rasanya cukup fair bagi Saya karena semua pasti memahami proses ini sebagai hasil pembelajaran di sekolah maupun lingkungan kita.
Lantas apa yang menjadi pembeda dari ketiganya? Perbedaan sesungguhnya dari ketiga hal ini muncul ketika kita sudah membahas tentang migrasi atau perpindahan dari suatu tempat ke tempat lain. Hal ini kemudian menjadi menarik jika dikaitkan dengan pembahasan identitasnya. Mari kita diskusikan satu per satu dari ketiga hal tersebut.
Barang,di era globalisasi ini, bahkan sesungguhnya sejak masa perdagangan maritim nusantara sekitar abad ke 13 telah tampak suatu ikatan yang unik antara bentuk fisik dan daerah penghasilnya. Di masa peradaban maritim dulu, interaksi masyarakat terjalin berkat terbukanya ekonomi nusantara. Banyak pedagang dari berbagai belahan bumi Asia dan Eropa datang untuk berdagang di kawasan nusantara ini. Pada masa itu, pedagang Cina dan India datang dengan kain sutra, kain katun dan berbagai peralatan berbahan dasar porselin atau keramik untuk dijual maupun ditukar dengan berbagai barang lain yang dihasilkan dan dijual di kawasan nusantara. Akan tetapi, meski pada saat itu perdagangan masih bersifat tradisional, baik konsumen maupun pedagang tentu paham dengan sendirinya darimana barang dagangan itu berasal atau diproduksi.
Di era perdagangan bebas saat ini, label “made in” senantiasa disematkan pada barang-barang yang diperdagangkan di seluruh dunia untuk menunjukkan siapa negara yang memproduksinya. Secara tidak langsung, hal ini menjadi legitimasi suatu negara akan eksistensinya di pasar internasional. Bahkan beberapa barang diciptakan dengan ciri khas tertentu. Dengan demikian, sekalipun barang tersebut diperdagangkan di lokasi yang berjarak ribuan mil dari lokasi produksi, konsumen akan paham setidaknya siapa negara produsennya dan juga eksistensinya di perdagangan internasional. Pelabelan itu juga yang seringkali menghasilkan keuntungan perbedaan harga meski komoditasnya identik.
Senada dengan Barang, Buahseringkali memiliki keterkaitan fisik yang tercatat dalam “kitab perbendaharaan buah” dengan asal muasal dikembangkannya. Kitab perbendaharaan buah ini mencatat struktur fisik dan genetik suatu jenis buah, sehingga sekalipun untuk durian saja, kita akan dapati berbagai macam jenisnya di pasaran. Meski demikian, bagi Anda yang cukup familiar dan penyuka buah durian, setidaknya Anda memahami jenisnya secara kasat mata dari bentuk dan mungkin rasa. Beberapa jenis durian dikembangkan di daerah tertentu, sehingga tidak sedikit dari mereka mendapatkan nama popular berdasarkan asal produksi pertama kali. Sebagai contoh ada Durian Ajimah (Ciomas), Durian Candimulyo (Magelang), Durian Wonosalam (Jombang), dan sebagainya. Namun sebagian besar jenis buah dapat tumbuh dan dikembangkan di berbagai lokasi. Mangga Manalagi misalnya, ketika anda menanam pohon mangga manalagi di Jawa maupun di luar Jawa, sesungguhnya tidak ada perubahan dalam sifat dasarnya, namun mungkin akan sedikit mempengaruhi rasa karena perbedaan satu dan lain hal dari daerah asal pengembangannya. Meski demikian, masyarakat mungkin seringkali akan memberikan penamaan yang berbeda untuk buah yang secara fisik sama. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun buah dihasilkan dari berbagai tempat yang berbeda, buah dengan jenis yang sama akan tetap teridentifikasi dalam satu kategori yang sama sehingga dapat diketahui asalnya.
Sementara itu, Manusia lebih unik dibandingkan keduanya. Seolah untuk manusia berlaku dua hal inti dari barang dan buah. Sekalipun dilahirkan di suatu tempat dan dari etnis tertentu, perpindahan manusia dari suatu lokasi ke lokasi lain akan menimbulkan konsekuensi logis perubahan identitasnya meski kadang hanya bersifat administratif. Sebagai contoh saja, Saya lahir di Jombang, Jawa Timur. Maka seumur hidup, Saya akan tercatat lahir di Jombang. Berbagai catatan administrasi untuk “melabeli” sebagai penduduk Jombang akan tetap ada sekalipun Saya pergi ke berbagai tempat di penjuru Indonesia. Lain halnya jika Saya memutuskan untuk berpindah domisili ke Padang misalnya, maka Saya harus meninggalkan label sebagai “Orang Jombang” berganti menjadi “Penduduk Padang”. Meski demikian, hal itu tidak akan merubah data diri Saya sebagai orang yang lahir di Jombang. Akan tetapi, hak-hak dan kewajiban kependudukan Saya sudah berpindah lokasi.
Bagian menarik dari ini adalah ketika kita membahas suku bangsa. Saya dan istri masuk dalam kategorisasi suku bangsa Jawa. Namun, ketika misal anak kami lahir di Padang yang mayoritas didapati suku Minang, anak kami akan tercatat sebagai Orang Jawa yang lahir di Padang. Dalam hal ini, suku bangsa kita akan terus melekat meski kita lahir dan besar di luar mayoritas suku bangsa kita. Setidaknya label sebagai “keturunan Orang Jawa” akan tetap tersemat meski seumur hidup kami akan tinggal di Padang.
Bagaimana jika terdapat kasus lain suami istri merupakan pernikahan beda suku bangsa, suami orang Makassar, istri orang Sunda? Banyak kasus seperti ini di sekitar kita, namun ketika Anda tanya kepada mereka “Anda orang mana?”, Saya yakin sebagian besar dari mereka akan lebih mudah menyebutkan identitas berdasarkan lokasi dimana dia tinggal. Pun demikian halnya ketika kita berada di luar negeri, akan lebih mudah memperkenalkan diri kita sebagai penduduk Indonesia dibandingkan suku-suku bangsa yang menopang di dalamnya. Sama dengan barang, catatan administratif kita akan melabeli diri kita kemanapun kita pergi. Pun demikian dengan buah, sekalipun secara spesifik dari fisik dan gaya tutur kita cenderung menginduk pada suku bangsa tertentu akan lebih mudah mengatakan pada dunia bahwa kita ini Bangsa Indonesia, berbahasa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H