Mohon tunggu...
Ketut Syahruwardi Abbas
Ketut Syahruwardi Abbas Mohon Tunggu... -

hanya orang biasa yang kebetulan suka "ngelamun" dan suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kami Khawatir, Bapak Presiden

12 Desember 2011   00:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:29 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SAYA bertanya-tanya, apa yang kini ada di pikiran Yang Terhormat Bapak Presiden Republik Indonesia, Jenderal TNI (Purn.) Dr. Susilo Bambang Yudhoyono? Apakah beliau mendengar prihal kematian Sondang Hutagalung yang membakar diri di depan istana negara yang nyaris menjadi menara gading itu? Apakah beliau sempat mendengar teriakan Sondang, ”Hukum Mati Koruptor” sebelum membakar diri?

Apa kabar Yang Terhormat Bapak Presiden RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat dengan perolehan suara 60%? Apakah Bapak mendengar cerita tentang Wa Ode Nurhayati yang tiba-tiba menjadi tersangka setelah dia mengungkapkan kecurangan anggota Banggar DPR-RI? Apakah Bapak Presiden Yang Terhormat tidak risi mendengar betapa banyak angota partai Bapak yang terus-menerus disebut-sebut terlibat dalam berbagai korupsi? Jujur saja, Bapak Presiden, kini saya menjadi jauh lebih percaya pada tudingan Nazaruddin ketimbang bantahan-bantahan yang dilontarkan anggota Partai Demokrat yang diseret-seret Nazar.

Negeri ini sudah berada di ambang kehancuran, Bapak Presiden. Sangat sedikit yang patut dibanggakan dari kegiatan pemerintahan di negeri ini, kecuali hal-hal kecil yang diraih anak-anak negeri di antara serpihan-serpihan kehancuran. Masih ada, memang, orang yang bekerja untuk kemanusiaan, untuk kebudayaan, untuk kehidupan sosial, untuk ilmu pengetahuan. Tapi mereka bekerja tanpa benar-benar mendapat perhatian negara, tanpa pernah Anda lirik, Bapak Presiden. Akibatnya, muncul orang semacam Sondang Hutagalung yang berteriak dan meminta perhatian Anda dengan cara membakar diri.

Tahukah Anda, Bapak Presiden Yang Terhormat, bahwa cara itu adalah cara orang yang putus asa? Itulah cara rakyat yang merasa tidak menemukan lagi saluran ekspresi, tidak memperoleh penyalur aspirasi yang cukup efektif, sementara DPR sibuk dengan kepentingannya sendiri, sibuk dengan kepentingan partai, sibuk menggelembungkan rekening pribadi masing-masing, dan sibuk memilih warna Bentley yang sesuai untuk dibawa melenggang di jalan Jakarta yang macet.

Ini negeri hampir tercabik-cabik, Bapak Presiden. Orang-orang gerah dengan pameran kekuasaan oleh orang-orang bebal di Jakarta yang mengaku jadi pengurus partai atau menjadi wakil rakyat atau menjadi pengambil keputusan di pemerintahan. Rakyat Papua gerah dengan korupsi yang kian meluas. Rakyat Kalimantan gerah dengan korupsi yang merajalela. Rakyat Sulwesi, Maluku, Sumatra, NTT, Aceh, Yogya, ... dan hampir semua rakyat di negeri ini gerah dengan persoalan-persoalan yang tak pernah terselesaikan di negeri ini. Rakyat muak dengan omong kosong sepanjang hari, sepanjang tahun, sebagai akibat dari politik pencitraan. Rakyat muak.

Hanya saja kami, rakyat, masih sedikit memiliki kesabaran dan cinta. Kami masih bersabar menunggu keajaiban. Kami masih mencintai negeri ini. Karena itu kami tidak ingin mencabik-cabiknya dengan revolusi.

Tapi berapa lama kesabaran itu bertahan? Berapa lama rasa cinta itu bisa menjadi alasan untuk menahan kegeraman dan kegerahan berkepanjangan akibat amburadulnya pemerintahan di negeri ini?

Ingatlah, Bapak Presiden, Indonesia adalah sebuah bangsa yang dibangun di atas serpihan-serpihan beragam suku-bangsa yang diikat ”hanya” oleh sebuah komitmen. Jika komitmen itu terus dicederai, terus dikhianati, terus diberaki oleh para koruptor dan petualang-petualang politik, sangatlah sulit mempertahankan komitmen bersama tadi untuk merekatkan mozaik Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan kebudayaan itu.

Kami sangat khawatir, Bapak Presiden. Sangat khawatir tidak kuasa mempertahankan kesabara. Khawatir tidak mampu lagi mempertahankan cinta kami. Khawatir tidak menemukan lagi alasan untuk mencintai Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun