Sorotan terkait dengan utang pemerintah memang menjadi isu yang berfluktuasi di masyarakat. Hal ini bermula dari imbauan Dana Moneter Internasional (IMF) kepada negara-negara berkembang untuk menjaga rasio utang di tengah dinamika perekonomian global yang semakin menantang pada akhir Januari. IMF mengatakan pengurangan utang pemerintah menjadi salah satu metode untuk menekan risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi. Menurut Menkeu, imbauan IMF lebih ditujukan kepada negara yang memiliki rasio utang yang tinggi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan defisit fiskal yang belum memenuhi kategori aman, sehingga tidak relevan dengan kondisi Indonesia.
Beberapa waktu lalu, nilai total utang pemerintah Indonesia (per Desember 2018) yang naik Rp 1.809,6 triliun dari posisi per akhir 2014 sebesar Rp2.608,7 triliun menjadi Rp 4.418,3 triliun mencuat menjadi isu hangat. Menanggapi polemik utang tersebut, Menkeu menuliskan sebuah puisi yang menjelaskan penggunaan utang yang diambil pemerintah. Di sisi lain, Menko Perekonomian, Darmin Nasution, memastikan utang pemerintah saat ini masih terbilang sehat dan masih dalam rentang normal dibandingkan negara lain di dunia. Hal ini dibuktikan dengan rasio utang sebesar 29,98% dari total PDB.
Usai rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Menkeu menegaskan bahwa utang pemerintah digunakan secara hati-hati melalui pembahasan bersama DPR. Menurutnya, utang tidak dilihat dari sisi nominalnya saja, tetapi juga dari keseimbangan primer (primary balance) yang menuju hampir nol. Mendukung Menkeu, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa orang yang menyebut Menkeu sebagai Menteri Pencetak utang adalah orang yang tidak paham dengan ekonomi makro. Dunia tahu bahwa Sri Mulyani menjadi kebanggaan Indonesia dan dinobatkan sebagai Menkeu terbaik di Asia Pasifik, bahkan di dunia.
Dari kalangan ekonom, Bhima Yudhistira menyoroti dampak kenaikan utang pemerintah sebesar 10,5 persen pada 2018 yang belum memberikan efek signifikan dalam mendorong indikator produktivitas ekonomi. Pemerintah diharapkan dapat mengoptimalkan dampak utang jangka pendek. Sementara itu, Vice President Economist Bank Permata, Josua Pardede, menilai kemampuan pemerintah dalam mengelola utang semakin baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, ia menyebut beban utang jatuh tempo yang mesti ditanggung pemerintah akan lebih besar karena banyaknya instrumen dan obligasi yang diterbitkan 3-5 tahun lalu yang jatuh tempo pada tahun ini.
Lalu apakah Indonesia masih dianggap darurat utang?
--------------------------------------------
Abdul Aziz - Pranata Humas pada Kementerian Keuangan
*) Tulisan ini adalah pendapat pribadi penulis dan tidak mencerminkan sikap dan kebijakan instansi penulis bekerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H