"Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely" -- John Dalberg-Acton
"Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang absolut pasti korup", begitulah kira-kira kutipan dari Lord Acton seorang sejarawan, penulis, dan politikus asal Inggris yang hidup di abad 19 sampai awal abad 20. Kutipan beliau sangat melekat di seluruh dunia hingga abad 21 ini (bahkan mungkin sampai abad-abad berikutnya). Karena benar, kekuasaan memang berpotensi korup dan disalahgunakan, baik itu kekuasaan kecil apalagi kekuasaan besar.
Kekuasaan kecil seperti diri kita sendiri. Kita sadar kitalah yang menguasai diri sendiri, namun apakah kita sudah maksimal memerintahkan pada pikiran dan tubuh untuk melakukan hal-hal yang baik? Berlanjut ketika kita menjadi ketua komunitas atau organisasi kecil, sudahkah kita memerintahkan kepada bawahan untuk melakukan dengan cara-cara yang benar? Dan bagaimana jika kita mendapatkan mandat sebagai wakil rakyat, penegak hukum, atau pemerintah? Bisakah kita adil kepada (setidaknya) seluruh rakyat Indonesia yang berjumlah 275 juta jiwa ini?
Sejak kampanye pemilihan umum 2024 lalu, sudah banyak orang dari kalangan akademisi, tokoh masyarakat, dan rakyat biasa yang mewanti-wanti 'Awas dinasti politik!' Namun apa daya, demokrasi belum tentu memihak yang benar, namun sudah pasti memihak yang banyak. Sehingga dengan lincahnya sang invisible mind mengatur lolosnya anak Presiden Jokowi yaitu Gibran untuk menjadi calon wakil Presiden dari Prabowo, dan akhirnya menang.
Dan sekarang, Mahkamah Agung (MA) memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mengubah batas usia pencalonan kepala daerah, yang mana ini memberi ruang bagi anak Presiden Jokowi yang satu lagi yaitu Kaesang yang saat ini belum mencapai usia 30 tahun untuk bisa mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah.
Sekarang mari kita berpikir, apabila usia Gibran pada awalnya sudah mencapai 40 dan usia Kaesang pada awalnya sudah mencapai 30, akankah Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) mengubah batas usia tersebut? Apakah benar pengubahan batas usia ini untuk anak muda pada umumnya, atau hanya diperuntukkan bagi anak-anak "raja" saja? Itu semua bisa kita buktikan ke depannya, apabila ada anak muda yang bukan anak Presiden namun sulit untuk menduduki jabatan wakil Presiden, itu berarti (kemungkinan besar) pengubahan batas usia itu hanya diperuntukkan bagi anak-anak pejabat saja.
Dengan tidak didengarnya teriakan para akademisi dan para ahli ini, apakah Indonesia bisa mencapai usianya yang ke 100 tahun? Ya mungkin bisa, namun pertanyaan kedua adalah, apakah sehat? Apakah ketika Indonesia mencapai satu abad tersebut politiknya bersih dan minim KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme)? Perlu diketahui bahwa ada penelitian yang menyebutkan bahwa 1% orang Indonesia itu menguasai 49% kekayaan negara[1]. Bayangkan seperti ini, jika dari pertengahan Sulawesi sampai Papua itu yang menguasai hanya 1% orang (sekitar 2,7 juta orang), sedangkan dari pertengahan Sulawesi sampai ujung Aceh diperebutkan oleh 99% orang (sekitar 270 juta orang).
Sekali lagi, jika mencapai usia 100 tahun namun sakit-sakitan, apakah Indonesia mampu menjadi pemain inti di dunia? Atau hanya menjadi mainan asing untuk dieksploitasi sumber dayanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H