Mohon tunggu...
Ahmad Basofi Mujahidin
Ahmad Basofi Mujahidin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Keperawatan Universitas Indonesia / ASN Kementerian Pertahanan

seorang mahasiswa program RPL di Fakultas Ilmu Keperawatan - Universitas Indonesia dan saat ini sedang izin belajar sebagai ASN perawat pelaksana di RS Pusat Pertahanan Negara PB. Soedirman - Kementerian Pertahanan.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kegagalan Komunikasi Interprofesi dan Hambatan dalam Komunikasi Interprofesi

21 November 2024   17:17 Diperbarui: 21 November 2024   17:20 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Komunikasi interprofesi merupakan fondasi penting dalam pelayanan kesehatan. Kegagalan dalam komunikasi antar tenaga kesehatan dari berbagai disiplin ilmu dapat berdampak serius pada kualitas pelayanan pasien, bahkan menimbulkan kesalahan medis. Hambatan komunikasi interprofesi dapat muncul dari berbagai faktor seperti perbedaan latar belakang pendidikan, hierarki organisasi, perbedaan budaya kerja, hingga penggunaan terminologi yang berbeda-beda. Selain itu kurangnya pemahaman akan peran masing-masing profesi, kurangnya kepercayaan antar profesi dan kurangnya kesempatan untuk berinteraksi juga dapat menghambat komunikasi efektif. Akibatnya koordinasi kerja menjadi terkendala, pengambilan keputusan menjadi lambat dan pasien tidak mendapatkan perawatan yang optimal (Diantha et al., 2019)
A. KEGAGALAN KOMUNIKASI INTERPROFESI
Terdapat dua jenis akibat dari kegagalan komunikasi interprofesi yaitu kejadian atau insiden yang merugikan pasien baik secara biaya maupun psikologi, dan kecelakaan atau injury yang berdampak pada cedera bahkan kematian. Komunikasi yang tidak efektif berdampak pada kualitas pelayanan dan outcome pasien yang mengakibatkan misinterpretasi, kurangnya informasi untuk pasien dan ketidakjelasan instruksi yang mengancam keselamatan pasien (O'Daniel dan Resenstein, 2015). Kurangnya komunikasi menimbulkan keterlambatan dalam penanganan, kesalahan diagnosis, kesalahan medikasi dan cedera (Foranda et al, 2016).
Dalam pengambilan keputusan suatu kelompok terdapat istilah groupthink untuk menjawab pertanyaan mengapa banyak anggota yang memiliki informasi dan kemampuan tetapi tetap mengambil keputusan yang keliru. Groupthink dapat dicegah dengan adanya aturan dan proses dalam pengambilan keputusan serta mendorong anggota untuk berpartisipasi penuh dengan mendukung adanya perdebatan dan konflik. Pemimpin harus menahan pendapat / idenya hingga semua ide kelompok telah disampaikan. Contoh fenomena groupthink di masyarakat yaitu mengatasi kegagalan KB yang disebabkan rendahnya penggunaan metode kontasepsi jangka panjang. Pemasangan alat kontrasepsi ini dipimpin oleh dokter obstetri ginekologi dan dokter muda di puskesmas kurang terapil sehingga dilakukan oleh bidan.
Untuk mengatasi groupthink teknik brainstorming dapat digunakan. Teknik ini efektif untuk menghindari groupthink. Jenis kegagalan komunikasi yang mengurangi mutu pelayanan kesehatan menurut Lingard et al (2004) diantaranya adalah :
- Komunikasi yang terlambat : selain berkomunikasi melalui catatan, akan lebih baik jika dilakukan secara face to face. contohnya dokter meminta sampel darah melalui dokumentasi, tanda berbicara langsung dengan perawat. Asumsinya perawat telah membaca dokumentasi namun perawat tidak teliti sehingga sampel darah belum diambil.
- Komunikasi yang gagal melakukan rujukan yang tepat : kegagalan ini bersumber dari persaingan antarprofesi yang berakibat enggannya antar profesi mendiskusikan kasus pasien. Contohnya pasien dengan diabetes masuk ke dokter spesialis penyakit dalam dengan keluhan vertigo. Perawat yang menangani pasien berpikir sebaiknya pasien dikonsulkan ke dokter spesialis saraf karena usia lebih dari 70 tahun sehingga pasien hanya mendapat obat untuk mengatasi vertigonya tetapi tidak mendapat pemeriksaan lebih lanjut.
- Komunikasi yang tidak lengkap dan tidak akurat : penting dalam pengambilan keputusan. Sehingga membutuhkan tatalaksana sesuai prosedur pelayanan standar yang telah dilakukan.
- Komunikasi yang tujuannya tidak tercapai : penerima pesan gagal mengintepretasikan pesan sehingga tujuan tidak tercapai.

B. HAMBATANDALAMKOMUNIKASIINTERPROFESI
Hambatan utama dalam komunikasi interprofesi adanya perbedaaan latar belakang dan budaya profesi. Seperti contoh perawat dididik untuk berkomunikasi lebih deskriptif sedangkan dokter dididik berkomunikasi lebih ringkas. Perbedaan tersebut menyebabkan kesalahan interpretasi dan kesalahpahaman antar profesi (Steward, 2017). Gender bias juga berpotensi mengganggu efektivitas komunikasi interprofesi. Perempuan cenderung kritis dalam menghadapi konflik, sedangkan laki-laki cenderung menghindari jika terjadi konflik. Hierarki salah satu faktor penghambat komunikasi interprofesi. Hierarki lebih rendah kecenderungan tidak berani menyampaikan temuan atau pendapat yang tidak boleh terlewatkan. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan akuntabilitas, penghargaan dan berdampak pada perbedaan gaji. Mereka yang di hierarki tinggi cenderung memberi kesan sebagai individu yang tidak dapat didekati. Kesan ini mengintimidasi yang berada dibawahnya.
Budaya memegang peran penting dalam komunikasi, ini menyebabkan perbedaan bahasa verbal, non verbal misalnya intonasi, gaya bicara serta preferensi dalam mengintepretasi pesan (O'Daniel dan Rosenstein, 2015). Perbedaan bahasa juga menghambat komunikasi di layanan kesehatan. Terjadi karena perbedaan asal atau sekolah terdahulu yang menggunakan jargon yang berbeda. Kondisi ini mengancam keselamatan pasien terutama jika anggota kelompok tidak mengerti merasa malu untuk meminta penjelasan (O'Daniel dan Rosenstein, 2015).
Kepribadian berperan penting dalam keberhasilan komunikasi interprofesi. Individu yang memiliki keraguan untuk mengungkapkan pendapat atau individu yang terlalu dominan membuat komunikasi tidak berjalan efektif. Perawat yang tidak memiliki kepercayaan rendah cenderung tidak berkomunikasi baik dengan dokter. Hambatan fisik yang dimiliki oleh pengirim atau penerima berita akan berpotensi menimbulkan komunikasi yang kurang efektif, misalnya pendengaran / penglihatan kurang baik, kondisi kesehatan yang tidak optimal. Contoh hambatan yang berasal dari luar diri seperti sarana prasarana yang kurang mendukung, kemajuan teknologi serta struktur organisasi yang kurang mendukung.
Kemajuan teknologi menimbulkan ketergantungan terhadap sistem elektronik. Komunikasi menjadi singkat dalam bentuk email, pesan teks dan sosial media. Profesional kesehatan berkomunikasi tanpa adanya klarifikasi secara langsung sehingga menimbulkan interpretasi yang keliru. Pertemuan tatap muka dalam membahas pasien tetap diperlukan untuk mengurangi kesalahan dalam menginterpretasi pesan. Hambatan sarana dan prasarana terjadi karena keterbatasan yang bersumber dari lingkungan. Gedung yang saling terpisah, sarana komunikasi yang kurang memadai atau jumlah staf yang terbatas akan menghambat komunikasi. Selain struktur organisasi yang tidak jelas atau terlalu banyak birokrasi, sistem informasi yang tidak efisien serta kurangnya pelatihan dan ketidakjelasan peran dan tanggung jawab merupakan hambatan yang perlu diperhatikan.

Dapat disimpulkan bahwa Kegagalan komunikasi interprofesi dalam layanan kesehatan memiliki konsekuensi serius, mulai dari kesalahan medis hingga kematian pasien. Akar permasalahan ini kompleks dan multifaktorial, melibatkan perbedaan latar belakang pendidikan, hierarki organisasi, budaya kerja, hingga faktor individu seperti kepribadian dan gaya komunikasi. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan komunikasi interprofesi, namun tantangan tetap ada. Perbedaan bahasa, teknologi yang terus berkembang, dan struktur organisasi yang kaku seringkali menjadi penghalang. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif. Selain pelatihan komunikasi, perlu adanya perubahan budaya organisasi yang lebih mendukung kolaborasi antar profesi.Penting untuk diingat bahwa komunikasi yang efektif tidak hanya tentang pertukaran informasi, tetapi juga tentang membangun hubungan saling percaya dan menghormati antar anggota tim. Hanya dengan demikian, kualitas pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan dan keselamatan pasien dapat terjamin. Namun, perlu diingat bahwa upaya ini membutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak yang terlibat, baik individu maupun institusi.

DAFTAR PUSTAKA
Foranda, C., B. MacWilliams, dan E. McArthur (2016). Inteprofessional communication in healthcare : an integrative review. Nurse education in practice 19 : 36-40. O'Daniel, M. Dan A.J. Rosenstein (2015). Professional communication and team
collaboration dalam patient safety and quality : an evidance-based handbook for nurses. Editor R.G. Hughes. Volume 2. Agency for healthcare research and quality (US). Rockville.
Soemantri, Diantha., Purnama, Santi Sari., Ayubi, Dian (2019). Buku referensi kolaborasi dan kerja sama tim kesehatan. Jakarta : Sagung Seto.
Stewart, M.A. (2017). Stuck in the middle : The impact of collaborative interprofessional communication on patient expactations. Shoulder & Elbow : 1-17.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun