Film dan Televisi Program Diluar Domisili (PDD) ISI Surakarta embrio ISBI Sulawesi Selatan bekerjasama dengan Rumata' Artspace mengadakan kuliah umum dengan mengundang sineas Mohammad Rivai Riza atau lebih dikenal Riri Riza sebagai pembicara. Kuliah umum dilaksanakan dengan metode hybrid, baik secara luring maupun daring. Kegiatan ini dihadiri kurang lebih 120 orang dari berbagai latar belakang baik mahasiswa, akademisi, maupun praktisi film yang berasal dari berbagai daerah.
Makassar (Kamis, 26 Maret 2022) - Program StudiKuliah umum ini untuk menyambut hari Film Nasional yang jatuh pada 30 Maret. Menurut Abas Fauzi dalam sambutannya sebagai perwakilan Prodi Film dan TV sekaligus ketua panitia, mengatakan bahwa "sejak Usmar Ismail dianugerahi pahlawan nasional oleh Presiden Jokowi dalam peringatan Hari Pahlawan Nasional pada 2021, terjadi pasang surut sinema indonesia. Pandemi covid-19 menjadi salah satu alasan penyebab menurunnya aktivitas perfilman nasional. Hal itulah yang kemudian memunculkan inisiatif-inisiatif pola adaptasi baru dalam aktivitas berkarya dengan kondisi yang sedemikian rupa."Imbuhnya.
Kegiatan berlangsung mulai pukul 10.00 Wita dengan dipandu oleh Ariyanti Sultan (Kak Rara) yang juga tenaga pengajar PDD ISI Surakarta embrio ISBI Sulsel. Peserta yang hadir tampak antusias mengikuti kegiatan kuliah umum ini dengan banyaknya pertanyaan yang diberikan untuk Riri Riza baik secara teknis maupun teoritis.
Dalam kuliah umum Riri Riza membawakan materi tentang Potensi Regional Sinema Kontemporer Indonesia. Dalam paparannya, ia menceritakan jejak dan pengalamannya di industri film mulai dari film dengan judul Kuldesak hingga Paranoia. Tidak hanya itu saja, ia juga memaparkan beberapa hal penting dalam pembuatan film. Mulai dari bentuk film, gaya film, konvensi genre, target penonton urban dan regional, siasat dan pendekatan produksi film, hingga promosi dan distribusi. Dalam hal ini, film Paranoia dan Atambua 39 Celsius menjadi contoh pengaplikasian pembuatan film.
"Film Indonesia seharusnya merupakan representasi dari Indonesia, dari keragaman Indonesia. Bisa dikatakan berdasarkan 51 juta penonton yang ada di Indonesia pada tahun 2019, yang paling besar sepanjang sejarah, bisa dikatakan jangan-jangan hanya satu atau tidak lebih dari 5% yang datang dari film-film yang dibuat dari berbagai kawasan Indonesia. Mungkin dari 10 film yang lebih dari 1 juta penonton itu kalau tidak salah ada film Dilan, Dua Garis Biru, Gundala, Perempuan Tanah Jahanam, itu rata-rata film yang berbicara tentang cerita datang dari wilayah urban (Jakarta, Bandung, dan Surabaya). Atau film-film yang bicara tentang isu-isu yang sangat urban. Kita semua harus menciptakan peluang untuk melahirkan film dari berbagai kawasan di Indonesia, karena potensinya sangat besar". Tutup Riri Riza.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI