Halo, Kompasianer apa kabar? Semoga semuanya baik-baik saja ya. Ini cerita tentang release atau melepaskan unek-unek yang bersemayam di dada maupun di hati.
Berawal dari kejadian berikut. Entah apa sebab, dua karyawan langsung adu kekuatan pita suara untuk beberapa saat. Keduanya bersikukuh dengan prinsip-prinsip benar masing-masing.
Dampak atas kejadian tersebut, saya mencoba melihat dari sisi lain tentang hal tersebut. Mencoba lebih realistic sekaligus obyektif sehingga tidak akan berdampak  buruk.
"Terlepas  ada masalah intern atau tidak diantara mereka, maka kita sudah seharusnya bisa  release  masalah tersebut dengan baik. Memang susah untuk direlease, tetapi harus dilatih agar tidak menjadi beban yang mengganggu irama  kerja", demikian penjelasan teman yang menenangkan suasana.
Alhamdulillah ada kalimat penuh hikmah nih. Saya menangkap satu kata mutiara yaitu release.
Serius sekali saya lebih kepo dengan kata "release masalah", "direlease ". Satu kata sederhana namun luar biasa makna terkandung.
Apakah bisa hanya dengan kata-kata semisal aku akan "melepas unek-unek"?. Lantas apa yang akan terjadi setelah release unek-unek dilakukan ? itu pun pertanyaan buat saya.
Mencoba mengingat ke masa lalu. Kembali ke usia belasan tahun, saat sekolah SMP dan SMA. Pernah mendengar, walau ga terlalu serius menyimaknya, kata tersebut diucapkan oleh guru. Manakala menyelesaikan masalah diantara para siswa. Masalah para remaja, yakni cinta monyet. Siswa penuh pesona kesana kemari menebar cinta monyet sehingga banyak siswi yang "ngarep" tapi tidak  berbalas.
Beliau menasihati "korban" si empunya kerjaan dengan kata-kata. "Release saja pikiran dan rasa memiliki itu, biar tidak jadi beban pikiran", pintanya. Masih banyak yang lebih baik. Ingat kamu masih sangat muda. Masih jauh kaki melangkah. "Mau kan release pikiran dan rasa memiliki dia?", tanya Pak Guru dengan nada datar namun penuh ajakan.
Ternyata teman saya jadi lebih tenang. Tidak lagi rusuh apalagi gelisah. Perasaan dia menjadi lebih mantap dengan pilihannya.