Antara sayur lodeh, dadar telur, dan lagu nostalgia, memang ga nyambung !
Hari Minggu yang identik dengan leyeh-leyeh di teras dengan ditemani secangkir kopi pahit dan beberapa potong cookies, tidak ada dalam diri. Aku pekerja keras, maksudnya senang dengan yang "keras-keras". Nyaco, nih.
Ya, pekerjaan berat maksud saya. Mencuci keset yang tidak mungkin dengan mesin cuci. Jelas ini pekerjaan "berat" buat saya. Mungkin energi di dalam tubuh saya mulai berkurang drastis, jadi perut mulai terasa lapar. Lihat jam menunjukkan 10.55. Pantes saja sudah siang.
Makan siang jam 11 terasa sangat aneh, disebut sarapan sudah jauh dari ufur timur, dikatakan makan siang pun belum masuk. Sehubungan tadi pagi, lambung ini sudah terisi pancake, jadi bergeserlah jam makan siang maupun pagi. Dibilang kacau boleh lah. Dirasa ga bagus, mohon jangan ditiru ya, Kompasianer.
Seporsi nasi versi Pak Abas, mengisi piring plastik kuning kebanggaan. Bukan apa-apa loh, hanya ringan saat dibawa jadilah pilihan saya yang menyenangkan. Maklum guru IPA, ada saja dalih hemat tenaga. Bagaimana jika saya guru Ekonomi ?
Semangkok sayur lodeh yang masih hangat, sudah sejak dari tadi melambaikan tangan, mengajak saya untuk menemuinya. Kok, repot amat sih sayur, ada apa sih ? Memang kamu siapa ?. Terkejut saya sesaat memandang ada biji yang berwarna hijau agar pudar. Tahu ga Kompasiner, duh itu sayur lodeh kesukaan saya. Biji petai mengambang santai mengajak tangan saya untuk mengambilnya.
Dua sendok sayur sayur lodeh pun menyeruakan semerbak petai menabrak syarat penciuman hidung. Teman-teman petai serasa pasrah, kalah bersaing dengan si biji hijau pudar. Ya, daun melinjo, jagung, labu hijau dengan rasa sayang saja membersamai santan dan bumbu lainnya.
Dadar telur yang tadi pagi dibuat saya, memang sudah dingin. Terlalu lama saya mem-PHP-nya. Nampak berkerut seperti dahi saya saat melihat hal yang tidak sesuai harapan. Kasihan sekali tuh dadar telur. Padahal dengan resep baru loh. Dadar telur spesial di hari Minggu, karena menggunakan sambal dari Soto Ayam yang semalam ga habis. Rasanya pedas yang "sopan" lah.
Tanpa menunggu aba-aba, trit saja sendiri. Berdoa seperti biasanya, sebagai tanda syukur hamba atas nikmat di hari Minggu yang sangat luar biasa. Sesuap demi suap, sendok dengan bergegas mengantar makanan ke mulut. Enak juga, bahkan lebih enak dari biasanya.
Dari ruang keluarga, terdengar lagu suara perempuan yang sudah populer. "Gelas-gelas kaca, bunyikan suara...", dan seterusnya. Mengalun terus, sedangkan makan pun selesai. Coba bayangkan Kompasianer, mulut mengunyah sedangkan pendengaran ikut berdendang bersama Nia Danyati. Apa ga kacau ?