Mohon tunggu...
Abas Basari
Abas Basari Mohon Tunggu... Guru - Guru Biologi SMA Al Masoem

melakukan apa pun yang bisa, kalau boleh orang lain bahagia

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Makan Petai Sepapan Berdua, Perekat Kemesraan Suami Istri

16 Agustus 2023   18:42 Diperbarui: 16 Agustus 2023   18:45 253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makan Petai Sepapan Berdua, Perekat Kemesraan Suami Istri

Wah, makan petai sepapan berdua ? Aroma itu loh yang buat ketagihan. Walau kata orang yang tidak menyukai makan petai mah, bau. Tapi bagi hobbies petai, ini lah serunya makan petai. Apalagi makannya sepapan berdua, suami istri. Apa ga nambah lengket harmonis rumah tangga !

Petai yang dikirim dari tetangga depan rumah menjadi bahan makanan "istimewa". Sekali lagi saya dan istri memang penyuka petai. Katanya hasil panen depan rumah, di Cisompet Garut. Jauh juga ya perjalanan petai ini.

Sebagai tetangga yang baik hati dan pandai menabung, he he he, sudah selayaknya tidak boleh ada kata menolak diberi petai. Sungguh malu juga di depan pemberi jika terang-terangan menyukai petai. Dengan rasa penuh harap, tangan ini pun tak sadar menerimanya.

Petai sengaja digantung dekat dengan meja makan, dengan harapan mudah dijangkau. Sore ini, kita berdua mendadak sepakat untuk makan petai bersama. Loh kok bisa sehati sih ? Ya, lah. Petai sudah 2 hari menggantung, jadi tidak baik dibiarkan lama menunggu. Ide bagus kan, Kompasianer ?

Untuk menemani "Sang Pujaan Hati", maksud saya petai, lauk pauk pun tidak ada yang berlebihan dari sisi harga. Ada tumisan daun kates (produksi tetangga), dadar telur yang tadi pagi, dan sambal hijau jadi merek yang tidak akan dikabari ya. Sengaja biar kepo nanti.

Piring pun plastik punya, yang harganya sangat terjangkau. Bukan piring beling yang mahal. Dengan kesederhanaan ini muncul rasa saling memiliki. Rasa yang menetap dalam diri dan sikap. Sok romantis banget nih !

Sore yang memang masih dibarengi matahari, seakan sepakat dengan kita untuk merebus petai. Supaya di mulut menjadi lebih mudah dikunyah. Biarlah "wanginya" terbawa angin keluar sekaligus membawa kabar bahwa kita mau makan petai. Sedikit bewara ke cakrawala.

Kita yang duduk bersebelahan pun saling memandang sambil ucapkan doa makan. Nasi, dadar telur, beberapa butir petai, sambal hijau, tumisan daun kates segera mengisi piring plastik warna kuning. Begitu petai beradu dengan sambal hijau, masuk ke mulut, terus dikunyah maka keluarlah "aroma khas petai". Kembali kita saling pandang dan tersenyum simpul. Ya, lagi menikmati aroma tersebut.

"Enak juga ya makan seperti, makin lengket deh hati", lirih saya ke telinga istri. "Ya, ayah", balasnya lembut terdengar. Duh, dug dug dug detak jantung sepertinya berdetak lebih kencang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun