Jadi dalam seminggu ada saja waktu untuk membuat kompos, termasuk hari minggu pagi.
Untuk bahan lainnya, saya memanfaatkan daun kering atau daun yang dirasa kurang baik pertumbuhannya, atau yang sudah terkena hama, daripada kurang sedap dilihat maka dipotong dijadikan bahan campuran sampah organik.
Biasanya saya membuat kompos pakai karung plastik bekas karung beras, namun keburu habis karungnya, jadi disimpan dalam bak kayu untuk sementara waktu. Memang agak lama prosesnya karena terpapar sinar matahari secara langsung berujung bakteri kesulitan menguraikannya karena bahan kompos menjadi cepat kering.Â
Kasihan tuh bakteri, "Maafin ya bakteri. Ntar sore ini ditempatkan ke karung plastik," ujar saya dalam hati.
Agar tidak repot memberikan pupuk organik, maka sampah organik saya masukan langsung ke toples plastik yang berada di tengah-tengah pot. Tanaman sengaja diselipkan di antaranya. Pembusukan tetap dibantu bakteri yang tentunya sudah diaktifkan dengan gula.Â
Kompos yang terbentuk, unsur haranya bisa diserap langsung oleh akar. Akar senang dapat nutrisi, saya pun senang ga repot kasih pupuk. Sampah organik pun senang karena tidak diacak-acak tikus. Tuh...kolaborasi hebat ya.
Saya lebih cenderung menggunakan pupuk organik yang dibuat sendiri sebagai pengganti pupuk anorganik. Lebih irit lah, selain menghindari buang sampah organik.Â
Perlu diingat loh, sampah organik jika dibuang ke tempat sampah akan mengeluarkan aroma yang kurang baik alias bau menyengat. Begitu kata ahli lingkungan.
Seolah tanaman pun berbicara, mereka butuh nutrisi, matahari, dan juga perhatian si empunya tanaman.Â
Setelah sekian tahun berlalu, memelihara dan merawat tanaman menjadi hobi yang asik sekaligus healing-healing versi sendiri.Â