Hanya berdua naik motor menuju Gedung Sate. Saat masih suasana pandemi menjelang akhir. Mengikuti protokol kesehatan yang berlaku. Satu jam kemudian sudah sampai di Jalan Dipenogoro No. 22. Sehubungan tiba agak pagi, masih agak sepi jadi bisa menikmati suasana sekitar Gedung Sate menjadi prioritas pertama.
Sewaktu kuliah sampai sekarang, memandang Gedung Sate seakan tak pernah bosan bahkan rasa kagum yang luar biasa. Berdiri kokoh dengan berbagai sebutan kepada bangunan tersebut. Sebutlah warisan budaya.
Terpikir lebih jauh, lah kok bisa ya mereka membuat bangunan seperti itu ? Mengapa ada di Bandung ? itulah pertanyaan yang muncul saat menyusuri bagian depan yang berbatas dengan jalan Dipenogoro. Pikiran pun melayang, Â menerawang ke masa awal tahun 1900. Jauh banget ya. Boleh lah namanya juga melamun.
Dalam rangka lebih memaksimalkan pendudukan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia perlu adanya Departemen Lalu Lintas dan Pekerjaan Umum yang mengaturnya. Maka Bandung menjadi lokasi yang tepat.Â
Batu pertama diletakkan pada 27 Juli 1920. Perlu waktu empat tahun untuk menyelesaikannya. Memakai pekerja sekitar 2000 orang dan 150 pemahat yang berasal dari lingkungan sekitar Bandung. Dirancang oleh arsitek  Ir. J. Gerber, Ir. Eh. De Roo, dan Ir. G. Hendriks. Menonjolkan unsur tradisional nusantara, dilengkapi dengan desian jendela berkonsep Moor Spanyol. Model secara keseluruhan menggunakan Rennaisance, sedangkan model atap mengadopsi unsur Asia, seperti Pura di Bali. Adanya ornamen batu sebagai adopsi dari Candi Borobudur. Akulturasi yang hebat. Sangat indah dan kaya nilai budaya. Mantap banget.
Seiring berjalannya waktu dan semakin banyak pekerjaan di wilayah priangan maka Pusat Pemerintahan Hindia Belanda pun akhirnya menempati Gedung Sate bukan lagi di Batavia.
Mengapa ada kata sate ?
Tiang besi di atas bangunan tersebut sebenarnya adalah penangkal petir, kemudian diberi enam perunggu. Hal ini menunjukkan bahwa selama pembuatan bangunan gedung ini menghabiskan enam juta gulden. Masyarakat melihat tiang besi seperti itu layaknya sate, maka seolah-olah sepakat dengan keadaan tersebut. Nama Gedung Sate pun memasyarakat sampai sekarang. Maklum di daerah Sunda, memberikan nama sesuatu selalu dikaitkan dengan apa yang menjadi dominan di sekitarnya.
Kekinian seperti apa Gedung Sate ?