Mohon tunggu...
Rifqi Arief
Rifqi Arief Mohon Tunggu... -

Mahasiswa UMN jurusan Teknik Informatika, penggemar sejarah dan JKT48. If you can dream it, you can do it.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Indonesia di Era Teknologi dan Globalisasi

23 Desember 2013   01:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 4400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan globalisasi di abad XXI sangat pesat dibandingkan abad-abad sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi yang juga sangat cepat, sehingga komunikasi antar manusia di negara-negara yang terpisah jauh pun dapat dilakukan dengan praktis tanpa perlu memakan waktu lama. Kemudahan ini membuat informasi dapat bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan waktu yang relatif singkat.

Percepatan perpindahan informasi ini kemudian juga mempercepat proses keterkaitan dan ketergantungan antar manusia di dunia. Hubungan-hubungan langsung seperti perdagangan pun dipererat dengan adanya berbagai metode untuk berinteraksi, misalnya dengan menggunakan jaringan internet, telepon, ataupun surat elektronik. Hal-hal tersebut berperan penting dalam menyebarkan globalisasi ke seluruh dunia.

Globalisasi, menurut Emanuel Ritcher, adalah sebuah jaringan kerja global yang menyatukan masyarakat yang sebelumnya berpencar serta terisolasi menjadi saling memiliki ketergantungan dan mewujudkan suatu persatuan dunia. Sementara menurut Leonor Broines, globalisasi adalah suatu bentuk demokrasi yang terjalin bukan hanya pada bidang ekonomi, tetapi juga keglobalan gerakan-gerakan hak asasi manusia, gerakan-gerakan emansipasi wanita, dan gerakan-gerakan sosial.[1]

Dirunut menurut bahasa, globalisasi berasal dari kata global, yang memiliki kata dasar globe yang berarti bola dunia. Globalisasi dapat diartikan sebagai “penyebaran sesuatu secara mendunia”, baik budaya, ideologi, maupun teknologi. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah.[2]

Secara garis besar, globalisasi dapat didefinisikan sebagai sebuah jaringan kerja yang meliputi seluruh bagian dunia, sehingga membentuk suatu hubungan ketergantungan diantara bangsa

dan negara yang berbeda. Ketergantungan ini dapat dilihat jelas di bidang ekonomi, dimana setiap negara saling memenuhi kebutuhan masing-masing lewat perdagangan dunia. Globalisasi juga memunculkan sebuah rasa kepedulian yang lebih erat antara sesama manusia. Ini ditandai dengan munculnya berbagai gerakan dan organisasi sosial yang tidak hanya terikat pada suatu negara, tetapi juga telah melewati batasan-batasan geografis, ekonomi, dan budaya.

Globalisasi tidak dapat semata-mata diidentifikasi sebagai sebuah proses instan yang terjadi di abad XXI, karena hubungan antar bangsa di dunia telah terjadi sejak 2500 tahun yang lalu, dimana manusia mulai melakukan perdagangan dengan sistem barter untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini kemudian berkembang dengan munculnya mata uang, sehingga negara-negara tidak perlu lagi menyediakan barang untuk ditukarkan dengan keperluan mereka.

Seiring dengan semakin majunya perdagangan dan interaksi diantara negara-negara di didunia, pemikiran yang berasal dari percampuran ide-ide dari luar maupun dari dalam suatu negeri juga mengalami perkembangan. Salah satu contoh yang paling dapat dilihat mengenai kasus ini adalah Renaissance Eropa di abad ke-14 Masehi, dimana para seniman dan ilmuwan Italia saat itu mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari literatur-literatur Yunani Kuno, Arab, India, dan Cina dan mengombinasikannya dengan ilmu mereka sendiri sehingga memunculkan pemikiran baru yang bahkan lebih maju dari sumber-sumber yang mereka pelajari. Pemikiran-pemikiran baru ini kemudian memunculkan teknologi baru yang mempercepat penyebaran globalisasi.

Salah satu teknologi di abad itu yang memiliki pengaruh besar adalah Printing Press, yaitu alat untuk mencetak tinta ke sebuah medium seperti kertas, kain, ataupun kanvas, dengan cara menekankan huruf-huruf yang diatur sedemikian rupa. Kertas ini kemudian dikumpulkan dan dijilid untuk kemudian dijadikan buku.[3] Buku-buku yang dicetak di abad ini biasanya mengandung ilmu-ilmu yang dikumpulkan dari tulisan-tulisan oleh ilmuwan di zaman Yunani Kuno seperti Plato & Aristoteles, dan ilmuwan Arab seperti Ibnu Sina.

Buku-buku tersebut dicetak banyak dan kemudian disebar-sebar ke seluruh universitas dan perpustakaan di seluruh Eropa, bahkan hingga mencapai Asia. Penyebaran ini merupakan salah satu contoh globalisasi awal, dimana ilmu serta pemikiran-pemikiran satu daerah menular ke daerah lain. Hanya saja, globalisasi di kala itu cenderung lambat, karena untuk memindahkan satu ide/materi diperlukan waktu yang sangat lama. Oleh sejarawanA. G. Hopkins, era itu dinamakan dengan proto-globalisasi, ditandai dengan meningkatnya aktivitas hubungan dagang diantara negara-negara di dunia.[4]

Kemudian di awal abad ke-20, teknologi yang semakin maju juga mempercepat laju globalisasi. Adanya teknologi yang dapat mempermudah komunikasi jarak jauh seperti telegraf[5]& telepon[6], serta teknologi yang mempersingkat perjalanan jauh seperti kapal uap, mobil, dan kereta api semakin mempersempit jarak dari satu tempat ke tempat lain. Kemajuan di bidang teknologi ini telah meningkatkan intensitas interaksi antara manusia secara signifikan, sehingga proses pengglobalan sesuatu pun menjadi jauh lebih cepat dari abad-abad sebelumnya.

Kemunculan teknologi komputer dan internet[7] di dekade 80-an merupakan salah satu poin penting dalam globalisasi. Meskipun pada awal kemunculannya teknologi ini belum dikenal luas, hanya dalam 3 dekade teknologi ini mampu memberikan efek yang sangat besar terhadap penyebarluasan informasi. Salah satu faktor pendukung perkembangan internet yang sangat pesat diantaranya adalah kemudahan aksesnya dan kecepatan perkembangan teknologi informasi itu sendiri. Inovasi-inovasi baru diperkenalkan hampir setiap tahun dan langsung diimplementasikan kedalam gadget-gadget yang dirilis di tahun berikutnya. Hal ini semakin mendukung keterbukaan informasi bagi semua orang.

Namun selain mendorong ada keterbukaan informasi, teknologi informasi di abad ke-21 ini juga mendukung kebebasan menyuarakan pendapat, opini, dan ideologi yang terkadang membahayakan budaya dan bahasa suatu negara. Pemikiran yang terkadang terlalu berpengaruh dapat merusak tatanan budaya suatu bangsa sehingga dapat mengubah jalannya bangsa tersebut secara keseluruhan. Hal ini merupakan salah satu dampak negatif dari globalisasi, karena nilai-nilai luhur yang terdapat pada suatu bangsa, dapat luluh dengan mudah terkikis oleh arus globalisasi yang relatif lebih kuat.

Sebagai bagian dari budaya, bahasa juga rentan terpengaruh oleh globalisasi, terutama dengan semakin mudahnya pembelajaran dan penggunaan bahasa. Dengan semakin tergantungnya negara satu dengan negara yang lain, diperlukan satu bahasa umum agar komunikasi dapat dilakukan lebih mudah tanpa memerlukan penerjemah. Bahasa Inggris biasanya menjadi bahasa yang paling mudah memengaruhi bahasa-bahasa lain di dunia, dikarenakan penggunaannya sebagai bahasa Internasional.[8]

Indonesia, sebagai sebuah negara yang sejak awal memiliki berbagai macam suku budaya dengan berbagai bahasa, juga tidak luput dari ancaman kikisan globalisasi. Bahasa Indonesia sendiri adalah bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa resmi Republik Indonesia[9] dan bahasa persatuan bangsa Indonesia[10]. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, bersamaan dengan mulai berlakunya UUD 1945 yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945. Seiring dengan perkembangannya, bahasa Indonesia terus mengalami perubahan, diantaranya penyempurnaan ejaan dari ejaan lama ke Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), serta penyerapan-penyerapan kata-kata baru yang berasal dari luar maupun dalam negeri Indonesia, hingga jadilah bahasa Indonesia yang kita ketahui sekarang ini.

Tetapi, dengan adanya globalisasi, bahasa Indonesia pun mulai terpengaruh oleh berbagai macam bahasa lain. Bahasa Inggris, Jepang, dan Korea merupakan 3 bahasa yang paling banyak memengaruhi pengguna bahasa Indonesia dewasa ini. Hal ini disebabkan oleh pertukaran budaya dan informasi yang begitu deras lewat internet, televisi, dan media-media lainnya, sehingga orang-orang Indonesia cenderung terbiasa mengucapkan kata-kata asing seperti “good morning”, “ohayou gozaimasu”, dan “annyeonghaseyo” daripada kata-kata bahasa Indonesia seperti “selamat pagi”. Hal ini tentu akan sangat membahayakan kelangsungan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.

Selain itu, bahasa-bahasa tren yang digunakan oleh remaja-remaja Indonesia saat ini juga akan berdampak buruk bagi bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa-bahasa alay yang menggabungkan huruf dan tulisan serta sebutan-sebutan yang kadang memiliki arti yang jauh dari konotasi sebenarnya seperti “cabe-cabean” juga dapat merusak bahasa Indonesia, terutama apabila bahasa-bahasa tren tersebut digunakan oleh banyak orang. Bahasa-bahasa ini biasanya menyebar dari mulut ke mulut, atau menyebar melalui media sosial online seperti Facebook, Twitter, sehingga hanya dalam sekejap, ratusan atau bahkan ribuan orang dapat langsung mengetahui dan menggunakannya dalam percakapan sehari-hari.

Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari fenomena globalisasi yang makin gencar dengan adanya teknologi informasi. Tren-tren bahasa yang berkembang di dalam maupun luar negeri dapat langsung berkembang dan menjadi bahasa sehari-hari masyarakat.Ini tentu tidak dapat dihindari, karena bahasa-bahasa lain dunia pun banyak yang dipengaruhi oleh bahasa asing maupun bahasa slang dari negara mereka sendiri.

Untuk itu, diperlukan sebuah kesadaran dari masyarakat, terutama masyarakat Indonesia sebagai pengguna bahasa Indonesia, dalam menggunakan bahasa Indonesia. Masyarakat harus lebih bijak dalam memilah-milah bahasa baik dan buruk yang mereka dengar di internet ataupun media lainnya, sehingga mereka dapat membatasi penggunaan bahasa alay yang berlebihan. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia di halaman-halaman sosial media atau aplikasi-aplikasi situs web juga dapat dilakukan agar bahasa Indonesia dapat menjadi salah satu bahasa internet, sehingga bahasa nasional Republik Indonesia ini dapat menjadi bagian dari globalisasi, bukan menjadi “korban” dari globalisasi.

Kesimpulannya, bahasa Indonesia dapat bertahan di era globalisasi dan perkembangan teknologi, asalkan dibatasi dari pencampuran bahasa asing dan slang yang berlebihan serta digunakan sebagai bahasa di internet.

[1] http://jkt45.com/pengertian-globalisasi-definisi/

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi

[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Printing_press

[4] Hopkins, A.G., ed., 2003. Globalization in World History. New York City, NY: Norton. ISBN 0-393-97942-3 pp. 4–5, 7

[5] Yaitu sebuah alat telekomunikasi yang bekerja dengan mentransfer sinyal listrik dari satu alat ke alat lain lewat sebuah kabel. Sinyal-sinyal ini kemudian diinterpretasikan menjadi pesan singkat oleh operator telegraf.

[6] Yaitu sebuah alat komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan suara (terutama pesan yang berbentuk percakapan)

[7] Kependekan dari interconnection-networking yaitu suatu jaringan yang menggunakan protokol standar TCP/IP, dan berfungsi untuk mengoneksikan seluruh komputer/server yang ada di seluruh dunia.

[8] Mydans, Seth (14 May 2007) "Across cultures, English is the word" New York Times

[9] Pasal 36 Undang-Undang Dasar RI 1945

[10] Butir ketiga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun