Mohon tunggu...
iif rahmat fauzi
iif rahmat fauzi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

abankz iif dari betawi.. nak keenem dari tujuh bsodare.. perawak kurus tapi ati lurus.. tidak tampan cukup idaman.. baik hati nan bependiri.. banyak banyol bukan konyol.. siap statis suka dnamis.. hobi nulis dikit kritis.. lisan diam mnuju faham.....

Selanjutnya

Tutup

Money

Outlook Agribisnis Indonesia

4 September 2012   07:47 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:56 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Mr. Edo from London Business University

Mantap! Itulah kata yang terucap dalam gumam saya saat bincang-bincang sederhana kami di Guesthouse Balai Penelitian Sungei Putih Medan. Ditemani sahabat satu lating kerja saya bernama Riska, kami banyak mendengarkan pengalaman dari Mr. Edo, salah seorang peneliti dari Perancis yang saat ini sedang menempuh studi S3-nya di London Business University. Terkejutnya saya adalah bahwa ternyata Edo sedang menjadi mahasiswa bimbingan dari salah satu dosen senior saya di Departemen Agribisnis IPB, tempat dimana saya kuliah yaitu Bapak Rahmat Pambudi. Wooow…

Sosok Edo sangat menjadi inspirasi buat saya untuk dapat membuka wawasan agribisnis Indonesia menjadi lebih luas. Hal pertama yang saya kagumi dari seorang Edo adalah kepiawaiannya ber - ”bahasa” Indonesia. Dari beberapa warga Negara asing yang pernah saya jumpai, menurut saya Edo adalah orang yang sangat memahami “bahasa” Indonesia. Bukan hanya dari segi bahasa secara grafis saja namun juga terlihat dari bagaimana beliau memahami karakter sosial budaya masyarakat Indonesia. Dan mengapa hal itu bisa dimilikinya adalah karena hampir tiap daerah yang beliau kunjungi di Indonesia terutama Jawa dan Sumatera beliau sangat tertarik dan mencoba untuk memahami kondisi demografis wilayah tersebut. Satu buku yang beliau bawa saat bincang-bincang kala itu dan belum pernah saya baca bahkan saya lihat adalah tentang Antropologi Masyarakat Medan. Dari situ terbuka mata saya bahwa banyak sekali hal yang sebenarnya menarik dari bangsa kita yang itu disadari bangsa asing tapi tidak sedikitpun disadari oleh bangsa kita sendiri.

Hal ke dua yang sangat saya kagumi dari seorang Edo adalah penghargaannya tentang ilmu pengetahuan. Statement sederhana yang cukup membuat saya tertarik adalah bahwa seorang wirausahawan (businessman) itu cukup dengan mereka yang “merdeka”. Definisi tersebut menurutnya sudah cukup untuk menggambarkan seorang wirausahawan. Lebih spesifik lagi menurutnya adalah bahwa wirausaha tidak sebatas hanya pada pengertian “usaha” yang selama ini kita pahami. Baginya seorang yang menuntut ilmu itu juga merupakan seorang wirausahawan, termasuk di dalamnya adalah seorang peneliti. Karena baginya menuntut ilmu itu tergantung dari bagaimana cara kita menyikapi ilmu itu sendiri. Ilmu itu asset yang tak ternilai harganya dan tak termakan oleh waktu dan tempat dimana kita berada. Ada nilai kebebasan yang terkandung dalam menuntut ilmu yang itu tergantung dari diri kita sendiri yang pada akhirnya bermuara pada kata “merdeka”.

Lelaki yang telah menempuh studi di Indonesia, Malaysia, Cina, Inggris, Australia, dan Prancis ini juga sedikit banyak memaparkan koreksinya terhadap sistem pendidikan Indonesia. Sekian puluh tahun bergelut dalam sistem pendidikan di beberapa Negara rasanya cukup memberikan suatu gambaran perbedaan sistem pendidikan kita dengan bangsa lain dalam benaknya. Koreksi positif yang saya dapat dari Edo adalah bahwa sistem pendidikan bangsa kita terlalu banyak berorientasi pada nilai atau hasil bukan pada proses. Berapa banyak mahasiswa atau pelajar Indonesia gagal mendapatkan gelar atau kelulusannya hanya di dasarkan pada nilai akhir yang tidak mencukupi standar kelulusan yang ditetapkan oleh institusi pendidikan terkait. Hal itu adalah salah satu hal yang menurutnya merupakan kelemahan dalam sistem pendidikan kita. Berikutnya adalah bahwa pendidikan Indonesia terlalu berorientasi pada teori bukan praktik nyata sehingga terkesan kaku dan sulit untuk memicu perkembangan dari dalam, dan itu terbukti karena hampir sebagian besar institusi pendidikan kita menggunakan komposisi teori dengan praktik sebesar tiga berbanding satu. Itupun sudah paling bagus. Dan saya rasa hampir semua pembaca menyadari hal itu. Bayangkan bukan hanya saat pendidikan menegah atas, saat pendidikan tinggi pun mungkin hanya sebagian kecil masa studi kita yang dipakai untuk praktik, sehingga sulit sekali diantara kita para pelajar umumnya untuk menemukan sesuatu hal yang baru di luar daripada teori yang ada. Padahal sejatinya ilmu itu luas dan akan terus berkembang setiap saat seiring dengan ditemukannya hal-hal baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Entah kondisi itu memang sengaja dibentuk atau bukan, wallohu a’lam, yang jelas itu adalah kelemahan kita.

Kondisi seperti itu juga Edo afiliasikan terhadap kenyataan bahwa tidak sedikit rasanya kita temui orang–orang yang berprestasi secara akademik di bangku sekolahnya hampir tidak mampu bersaing dalam kehidupan nyata di lapangan atau di dunia kerja, sehingga mereka terpaksa memilih melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar berikutnya sebagai upaya membiaskan ketidakmampuannya untuk bersaing dalam praktik di dunia kerja atau bahkan samasekali menganggur. Orang semacam itu Edo sebut sebagai orang pintar sesaat. Namun demikian bukan berarti semua yang memilih untuk melanjutkan studinya langsung adalah mereka yang tidak mampu bersaing, karena banyak juga diantara mereka yang memang memilih melanjutkan studinya langsung sebagai pilihan atas komitmen hidupnya.

Koreksi berikutnya terhadap pendidikan kita adalah bahwa setelah menempuh pendidikan, orang-orang yang secara ilmu pengetahuan terbukti sangat hebat yang dalam hal ini Edo gambarkan sebagai seorang intelektual atau ilmuwan itu menurutnya sangat kurang dihargai di Indonesia, dan saya rasa pembaca sekalianpun menyadari itu. Dan itu harus kita sadari bukan hanya oleh pemerintah bahkan memang sudah terkodisikan dalam benak diri kita sebagai bangsa Indonesia.

Dan diantara sekian banyak bincang-binyak kami saat itu satu hal yang menarik dalam topik perbincangan kami seputar dunia agribisnis Indonesia ketika itu adalah bahwa ada saat dimana sektor perkebunan sebagai salah satu penopang terbesar ekonomi kita justru akan menjadi bom ekonomi Indonesia. Mengapa hal itu bisa terjadi???

Menurutnya mudah saja. Semua hal tersebut akan tidak terlepas dari faktor harga komoditas dan biaya untuk membangun komoditas tersebut. Singkatnya trend harga komoditas perkebunan yang berfluktuatif (Karet dan Sawit) yang meskipun memiliki kecenderungan meningkat suatu saat akan bertemu pada satu titik dimana garis biaya dari pengusahaan komoditas tersebut memiliki kecenderungan untuk meningkat secara konstan. Sebagai mana gambaran grafik di bawah.

Adapun ada faktor yang menurutnya akan memicu kondisi tersebut, beberapa diantaranya adalah biaya tenaga kerja yang terus meningkat akibat isu kelangkaan dan perluasan lahan baru. Hal inilah yang kemudian menjadi satu daya tarik saya untuk kemudian meneliti lebih lanjut prediksi yang beliau ungkapkan tersebut. Akankah Indonesia mengalami hal tersebut?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun