Ada 3 indikator yang memengaruhi resiko kesopanan nitizen di Indonesia. Indikator tertinggi adalah hoaks dan penipuan, 47%. Indikator kedua, ucaran kebencian mencapai 27% dan ketiga, adalah diskriminasi dengan presentasi 13%. Ironinya, pelaku indikator ketidaksopanan tersebut didominasi oleh nitizen berusia dewasa. Bukan ABG (remaja).
Meski pun mendapat penolakan dari nitizen Indonesia. Bahkan Microsoft sempat diserang dan dibully. Hasil riset tersebut dapat diamati dan dianalisis kebenarannya melalui fenomena reaksi nitizen terhadap setiap peristiwa viral yang terjadi. Salah satunya, peristiwa "Saya Satpol" yang terjadi di Gowa, Sulawesi Selatan.
Pengamatan penulis, reaksi nitizen terhadap peristiwa "Saya Satpol" sangat cepat. Dalam hitungan menit, peristiwa yang terekam live ini tersebar di dunia maya. Dilihat dari konten, peristiwa ini termasuk kasus atau masalah sosial yang menguras psikologis masyarakat yang menyaksikan. "Pemukulan terhadap perempuan hamil oleh seorang aparat" merupakan peristiwa terhadap kemanusiaan yang tidak dapat dibenarkan.
Dalam hitungan 1 x 24 jam, suara nitizen tak terbendung. Mereka mengecam tindakan oknum dan membela perempuan hamil. Respon nitizen sangat massif. Bupati Gowa, Adnan Purichta Yasin Limpo merespon cepat dan memerintahkan jajarannya agar kasus tersebut segera diproses sesuai ketentuan. Bahkan Presiden Jokowi pun mengeluarkan stetmen khusus perihal kasus tersebut.
Itu pertanda, suara nitizen sangat kuat. Persoalan pada tingkat grassroot terbaca dan langsung direspon oleh pejabat negara. Suara nitizen menjadi kekuatan sosial. Â Daya pressure-nya cukup efektif. Melalui media sosial dengan karakteristiknya yang berjejaring, informatif, dan interaktif membuat suara netizen telah menyamai suara-suara demonstran di jalanan.
Hanya saja, media sosial bisa menjadi hutan rimba bagi nitizen. Bahkan lebih kejam bagi hutan rimba sesungguhnya. Di sana ada pergulatan antara baik dan buruk. Orang baik bisa menjadi buruk karena fitnah atau hoaks. Sebaliknya, orang buruk bisa menjadi baik karena pencitraan. Kebenaran dan kejahatan bisa dibolak balikkan. Melalui media sosial, profil atau peristiwa bisa diframing sesuai dengan selera.
Fenomena itu, banyak terjadi di Indonesia. Contoh sederhana dapat diamati dari kasus viral seperti "Saya Satpol". Dalam amatan penulis, kasus ini telah melahirkan banyak hoaks. Baik dalam bentuk berita, infografis, meme, mau pun video pendek. Bahkan perbicangan pada berbagai media sosial lainnya, dengan gampangnya orang membully, mencaci, atau ujaran kebencian.
Nampaknya, fenomena nitizen tersebut di atas akan terus mewarnai sejarah manusia pada peradaban dunia maya. Tak ubahnya di dunia nyata. Selalu ada pergulatan dan pertarungan. Antara yang benar vs salah, baik vs jahat dalam berbagai versi dan bentuk aksinya. Semoga saja, kebenaran dapat mendominasi agar dunia maya kelihatan seperti manusia dan kemanusiaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H