By. Suherman Syach
"Saya Satpol" kata-kata ini seketika viral di medsos. Disajikan dalam berbagai versi. Ada meme bergambar, pesan singkat, dan video singkat. Kontennya macam-macam. Ada yang lucu, nyinyir, basa basi, dan sekedarnya. Bahkan ada yang menggunakan istilah ini pada setiap postingan dan chatingan ala medsos, sebagai candaan atau berlolucon.
Istilah "Saya Satpol" membanjiri beranda medsos siang dan malam. Penggunanya, beragam jenis. Mulai kalangan anak milenial, emak-emak, pedagang lapak kaki lima sampai ke akademisi, politisi, ustas dan sejumlah pejabat. Setidaknya, itu yang terpantau diberbagai akun medsos pribadiku. Kata-kata ini seketika membumi di Indonesia. Seperti membuminya batu akik dan bunga-bunga yang cukup menyita perhatian.
"Saya Satpol" adalah kalimat yang tetiba viral karena sebuah peristiwa yang terekam. Peristiwanya terjadi di kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ketika sejumlah aparat pemerintah daerah menegakkan aturan PPKM di sebuah caf. Salah satu aparat dari Satpol PP, tiba-tiba berteriak, memaki dan beringas. "Saya Satpot, mana izinmu" kata Satpol yang kemudian terekam bertengkar hebat dengan seorang perempuan, sang pemilik cafe.
Peristiwa itu sendiri, secara sengaja dan sadar direkam secara live oleh pemilik cafe (suami korban penamparan). Pemilik cafe, ternyata juga berprofesi sebagai youtuber. Dalam tempo sesingkat-singkatnya, peristiwa ini tersebar dan ditonton ribuan nitizen. Bagi seorang youtuber, konten viral tentu saja sebuah impian.
Menyaksikan secara kasat mata video tersebut, para nitizen bereaksi. Dalam konten video terlihat perlakukan kasar aparat. Terindikasi, aparat menampar seorang perempuan, sang pemilik cafe. Sang suami sempat mengingatkan aparat dan berteriak, bahwa istrinya hamil. Insiden pertengkaran inilah yang memicu emosi nitizen.
"Aparat menganiya seorang perempuan hamil". Begitu kira-kira kesimpulan nitizen yang menonton kasat mata video dari peristiwa itu. Nitizen pun melancarkan protes, menyesalkan dan menyalahkan tindakan aparat Satpol PP itu. Bahkan sebagian besar, nitizen lainnya mengumpat, memaki dan mengutuk Satpol yang dianggapnya melanggar hak azasi seorang perempun, lagi hamil. Sebagiannya, meminta agar oknum itu diadili dan dihukum. Tentu saja, siapa pun akan marah melihat peristiwa seperti itu.
Respon dan reaksi cepat nitizen sudah sering sekali kita jumpai. Kata Allan Marten, informasi adalah karakter masyarakat digital. Cara bertindak masyarakat sangat dipengaruhi oleh informasi yang diperolehnya secara digital. Mereka berkejaran dengan informasi. Baginya, informasi sangat berharga, informasi adalah peluang, informasi adalah senjata, informasi adalah kekuatan, informasi adalah uang.
Konten digital adalah milik dan bekerja di ruang publik. Karenanya sangat sulit dibatasi dan dipersempit. Beberapa negara telah membuatkan regulasi. Di Indonesia, regulasinya disebut Undang-undang ITE (Informasi Teknologi Elektronik). Sudah banyak yang terjerat. Tetapi tetap saja, tidak mampu membawa nitizen ke jalur yang benar dan terkendali.
Fenomena nitizen Indonesia menarik dicermati. Laporan Microsoft beberapa bulan lalu membuat mata kita terbelalak. Dalam survey Digital Civility Index (DGI) menunjukkan bahwa tingkat kesopanan nitizen Indonesia sangat buruk. (baca: https://www.kompas.com/sains/read/2021/02/26/194500523). Indonesia, yang dikenalkan kepada kita sejak dari kecil sebagai negara ramah dan sopan ternyata bergeser 100%. Warga internetnya paling tidak sopan !!!