Sebuah situs berita online menulis berita dengan judul “ Beda Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng Hadapi KPK”.Judul berita ini memang sedikit berbeda, dan jauh lebih menarik bagi saya dibandingkan sudut pandang berbagai berita lain yang juga bernada seragam yakni seputar pemanggilan dan penahanan Anas Urbaningrum sebagai tersangka korupsi Hambalang pada hari ‘jumat keramat’.
[caption id="attachment_315068" align="aligncenter" width="673" caption="AU & AM"][/caption]
Berita tersebut sesungguhnya bukan hanya mengungkapkan dua sosok politisi mudayang pernah saling bersaing pada panggung politik nasional yang kemudian sama-sama terhempas karena kasus korupsi. Namun bagi saya, berita tersebut telah mengungkapkan perbedaan yang tajam dari dua sosok dengan dua latar belakang identitas politik yang berbeda.
Jika Andi Mallarangeng cenderung begitu reaktif dalam menyikapi kasus yang melanda dirinya, dimana setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Andi langsung mengumumkan pengunduran diri sebagai menteri pemuda olahraga dan lantas terkesan tidak sabar menjalani proses penahanan dengan mengajukan diri untuk segera ditahan.
Maka Anas Urbaningrum menampilkan corak yang berbeda dari sikap Andi. Anas tidak menyikapi dengan lugas dan langsung seperti mantan koleganya di partai demokrat tersebut, Anas lebih senang bermain pertanda dan penanda dengan menggunakan kalimat bersayap, sikap yang terkesan abstrak, gesture yang metaforik, dan mimik yang cenderung simbolik.
Dua sosok yang menjelaskan rentang jarak dua latar belakang identitas budaya politik yang sangat berbeda. Sesuatu yang bisa terbaca jelas ketika dengan sangat simbolik dari pidato saat melepaskan jabatan sebagai ketua umum partai demokrat, Anas menegaskan bahwa kejadian yang menimpa dirinya hanyalah “merupakan lembar pertama dari buku”, maka Andi lebih memilih mengungkapkan sesuatu yang materiil “ akan membawa buku ke penjara”!
Politik Jawa
Anas dan Andi bukan hanya dua contoh representasi dari dua identitas politik yang berbeda dari sosok politisi jawa dan non jawa . Kalau kita cermati, hal ini juga terjadi antara Joko Widodo dan Jusuf Kalla dalam menyikapi pertanyaan seputar pencalonan sebagai presiden.
Jokowi cenderung terkesan malu-malu dan enggan menjawab secara langsung persoalan kesedianya menjadi presiden. Sikap yang sangat berbeda dengan Jusuf Kalla yang secara terang-terangan menyampaikan secara lugas akan keinginanya untuk kembali pada arena capres.
Anas dan Jokowi adalah dua sosok yang merepresentasikan apa yang disebut Benedict Anderson sebagai ‘budaya politik jawa’. Dalam kacamata sederhana saya, budaya politik jawa dibangun oleh nilai-nilai yang menjadi pakem dan karakter dasar masyarakat jawa itu sendiri, seperti pintar menyembunyikan perasaan, sungkan, dan pembicaraan yang cenderung berstrata dan penuh eufemisme.
Sesuatu yang berbeda dengan kultur masyarakat bugis misalnya yang biasanya spontan, percaya diri, dan berbicara langsung pada maksud. Perbedaan karakteristik dua kebudayaan inilah yang menurut hemat saya dalam banyak konteks akan melahirkan tindakan yang berbeda pula.
Sesuatu yang begitu nampak ketika duet Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla saat menjadi presiden dan wakil presiden, ketika itu begitu nampak perbedaan yang jomplang karakter antara keduanya, SBY yang cenderung menyenangi hal yang bersifat formalistik dan tindakan yang penuh pertimbangan sementara Jusuf Kalla cenderung jauh dari kesan formal dan langsung mengambil keputusan.
Kondisi inilah yang menurut banyak sumber membuat gerah lingkaran SBY hingga menyebabkan duet timur dan barat, “politisi bugis dan jawa” akhirnya hanya bertahan satu priode.
Beda sikap pada SBY
Kini Anas dan Andi sama-sama resmi menjadi tahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelum ditahan Anas sempat mengucapkan rasa terima kasihnya kepada ketua KPK, tim penyidik, sampai presiden SBY. Sebuah pesan yang membuat banyak pihak menjadi bertanya-tanya apa yang ingin disampaikan anas dibalik ungkapan terima kasihnya tersebut? Apalagi diakhir kalimatnya Anas bahkan sempat mengungkapkan, penahanan dirinyamerupakan kado awal tahun buat presiden SBY.
Dari peristiwa tersebut, kita sekali lagi disajikan dua pandangan yang berbeda menyangkut sikap Anas dan Andi dalam menyikapi peristiwa penahanan. Jika pada saat pengunduran dirinya, Andi malaranggeng dengan tegas mengungkapkan tidak ingin mengganggu kerja sebagai pembantu presiden, dan tidak ingin menjadi beban bagi presiden dan segenap kabinet indonesia bersatu jilid II, serta lebih memilih proses hukum yang berjalan, Anas justru bersikap sebaliknya berusaha menunjukan perlawanan dan ancamanya dalam bentuk yang halus kepada SBY.
Seolah ingin bermain-main dengan pesan-pesan simbolik, Anas sebenarnya telah berhasil membangun terror pisikologis bagi SBY dan mereka yang membuangnya dari demokrat. Sebuah kondisi yang berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Andi Malaranggeng yang lebih memilih menjadi loyalis bagi SBY dan cenderung melimpahkan masalahnya pada dirinya sendiri.
Jika Andi memilih menjadi tameng ataskasus hambalang, ibarat seorang bawahan yang setia kepada atasan. Maka Anas justru berlaku sebaliknya, memindahkan tuduhan yang diberikan kepadanya kepada mereka yang berada diluar dirinya, yang semakin lama-semakin jelas, mengarah pada SBY dan pihak-pihak yang menjadi lawan politik.
Namun terlepas dari model politik apapun yang dilakukan oleh kedua politisi ini, kitapun bersepakat kedua tokoh ini sama-sama didakwa korupsi. Sebuah tindakanyang oleh seluruh entitas apapun di muka bumi ini harus menjadi musuh bersama. Tentu saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sembarangan dalam melakukan penahanan dan dakwaan atas seseorang sebagai koruptor, saya pikir siapapun dirinya, model politik apapun yang dibawanya ketika terbukti terlibat korupsi maka harus dihukum berat entah dia Anas Urbaningrum ataupun Andi Mallarangeng!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H