Mohon tunggu...
Abang Rahino S.
Abang Rahino S. Mohon Tunggu... Pembuat film dokumenter dan penulis artikel features

A documentary film maker & feature writer

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Potential Lost Bisa Sampai ke Tinja dan Air Seni

2 Juli 2014   18:35 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:49 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kembali isu tentang “kebocoran” dan “potential lost” muncul dalam debat keempat kedua pihak yang berebut kursi RI-1 dan RI-2. Hatta Rajasa kembali menekankan yang dimaksudkan pihaknya dengan kebocoran adalah ‘potential lost’, bukan kebocoran dalam artian tiris dari APBN yang dikatakannya hanya sekitar Rp 1.800 trilyun. Mana mungkin bocor Rp 1.200 trilyun, bukan? Demikian Hatta Rajasa berargumen.

Saya setuju dengan Pak Hatta Rajasa, masakan dari seribu delapan ratus trilyun bisa bocor seribu duaratus trilyun, sementara kalau tidak salah duit yang bisa diotak-atik karena untuk pembangunan hanya sekitar 30%-nya. Sisanya adalah untuk gaji dan biaya rutin lain termasuk bayar utang. Tetapi yang menjadi permasalahan pertama adalah bahwa pihak beliau insists & persistent dengan istilah kebocoran ini. Maka terjadilah blunder tak berkesudahan. Oke-lah, mari kita tinggalkan saja percakapan terminologis itu dan kita sekarang menganggap memang pihak Capres-cawapres #1 salah ucap dalam beretorika.

Permasalahan kedua menurut saya adalah adanya halusinasi untuk bisa memanfaatkan potential lost bagi pembiayaan berbagai program dan kegiatan dalam rangka menggapai visi-misi. Mengapa saya sebut halusinasi, karena yang bisa masuk dalam kategori potential lost sangat luas dan bisa ngayawara kata orang Jawa (ngayawara kuranglebih bermakna ke mana-mana tidak karuan). Walau penjelasan saya berikut ini juga terkesan ngayawara, namun saya bisa memberi contoh konkrit berikut ini.

Penduduk Indonesia 250 juta orang. Produksi tinja orang Indonesia 83gr/hari. Ambil asumsi 50gr saja rata-rata/hari dengan mempertimbangkan usia anak-anak dan manula yang volume tinja mereka lebih sedikit. Jadi produksi nasional tinja kita sehari adalah seberat 250jt x 50 gr = 12.500.000kg tinja/hari. Enam sampai dengan sembilan bulan kemudian tinja-tinja itu bisa menjadi pupuk organik sehat tak beracun seberat sekitar 40%-nya, jadi kita punya pupuk organik 5 juta kg pupuk! Dalam setahun berarti bisa diperoleh sekitar 1.750 juta ton pupuk organik yang saya jamin sangat sehat untuk semua jenis tanah dan mampu menyuburkan lahan-lahan pertanian kita.



Lalu kencing. Apakah kita menyadari bahwa dari air kencing manusia per hari bisa dihasilkan asam fosfat 2,3 gr, dan zat-zat lain yang bermanfaat? Bukankah fosfat menjadi salahsatu kandungan utama yang kita butuhkan untuk pemupukan lahan pertanian? Dan untuk itu manusia menambang fosfat untuk memproduksi pupuk kimia tiruan? Silakan dihitung sendiri berapa potensi rupiah air kencing 250 juta manusia Indonesia per tahun hanya dari derivat fosfat saja. Apalagi jika memahami bahwa harga fosfat semakin hari semakin bukan naik tetapi melonjak. Ada penyebabnya, akan saya sampaikan dalam artikel lain di rubrik Green/polusi.

Hitung-hitungan semacam dari tahi dan kencing itulah yang juga bisa masuk kategori ‘potential lost’, tetapi belum bisa dikategorikan sebagai ‘kebocoran’ walau belum dimanfaatkan. Jika kita mau menghitung semua kemungkinan lain yang belum kita manfaatkan, angkanya bisa sangat debatable! Bayangkan saja misalnya jika kita memasukkan rambut yang dibuang begitu saja oleh jutaan tukang cukur padahal itu bisa dibuat wig, bulu mata palsu, kuas atau produk lain. Atau sampah organik. Juga sampah plastic, kertas dan kain yang bisa didaur ulang (recycle) atau dipakai ulang (reuse). Belum lagi arus dan ombak laut yang berpotensi menciptakan tenaga dahsyat untuk pembangkit listrik. Belum lagi sinar matahari. Belum lagi angin tropis yang kencang untuk PLTAngin. Memang terlihat mengada-ada, tetapi itulah potential lost yang kalian omongkan itu! Jadi angkanya bukan sekedar Rp 1.200 trilyun, bisa ribuan trilyun dolar AS, Bung!

Demikianlah kira-kira. Semoga kita semakin dimampukan untuk berkampanye secara benar, dengan memberi informasi yang jernih kepada masyarakat luas. Karena masyarakat Indonesia di abad 21 bukan lagi komunitas di dasawarsa 1950an ketika pemilu pertama diselenggarakan. Kami – anggota masyarakat -bisa dengan sangat mudah dan cepat memperoleh informasi dari berbagai sumber di seluruh dunia, walau diblokir bagaimana pun oleh penguasa sekuat apa pun. Dan kami juga memiliki kemampuan untuk menyaringnya dalam proses analisa. Jangan remehkan kami, maaf!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun