Tulisan saya di situs www.suarasehat.com yang diterima Dewan Redaksi mereka dan diterbitkan dengan tautan ini: http://www.suarasehat.com/hari-ibu-kongres-perempuan-indonesia-pertama/
Â
Hari ini (22/12) tepat 87 tahun lalu di tahun 1928, para perempuan Indonesia dari berbagai latar belakang suku, agama, dan kelas, datang dari sebagian besar wilayah Indonesia ke Yogyakarta. Banyak di antara mereka yang berusia muda. Mereka datang ke Yogya untuk menghadiri Kongres Perempuan Indonesia Pertama yang dilaksanakan di Dalem Jayadipuran. Bangunan tersebut kini berfungsi sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, di Jl. Brigjen Katamso. Walau tidak ditemukan dokumen konfirmasi, namun konon kongres ini berhasil menghadirkan kuranglebih seribu peserta kongres.
Persiapan kongres dilakukan di Jakarta, dengan susunan panitia Kongres Perempuan Indonesia adalah Nn. Soejatin (dari organisasi Poetri Indonesia) sebagai Ketua Pelaksana, Nyi Hajar Dewantara (dari organisasi Wanita Taman Siswa) sebagai Ketua Kongres, dan Ny. Soekonto (dari organisasi Wanito Tomo) sebagai Wakil Ketua Kongres.
Kondisi sarana transportasi saat itu sulit dibayangkan oleh masyarakat abad XXI seperti sekarang. Banyak di antara para peserta Kongres dari luar Jawa harus menempuh perjalanan dengan kapal laut berhari-hari untuk dapat tiba di Semarang, kemudian melanjutkan perjalanan darat ke Yogyakara. Layanan bis belum ada. Para perempuan ini juga banyak yang harus bergulat dengan persoalan pribadi karena harus meninggalkan keluarga, rumah, maupun saudara selama berhari-hari. Belum lagi tantangan kultural, berupa persepsi ketidaklaziman perempuan melakukan perjalanan jauh sendirian.
Kongres ini dihadiri oleh perwakilan 30 perkumpulan perempuan dari seluruh Indonesia, di antaranya adalah Putri Indonesia, Wanito Tomo, Wanito Muljo, Wanita Katolik, Aisjiah, Ina Tuni dari Ambon, Jong Islamieten Bond bagian Wanita, Jong Java Meisjeskring, Poetri Boedi Sedjati, Poetri Mardika dan Wanita Taman Siswa.
Pokok Bahasan
Topik yang diangkat dalam kongres diantaranya adalah kedudukan perempuan dalam perkawinan; kasus perjodohan perempuan; kasus perempuan dinikahi dan diceraikan semau pihak lelaki; poligami; dan pendidikan untuk anak perempuan. Topik-topik tersebut menimbulkan pro-kontra di antara para peserta kongres, terutama dari para peserta perkumpulan perempuan berlatar belakang agama Islam. Namun pada akhirnya diambil kesepakatan bersama bahwa perlunya perempuan lebih maju.
Beranjak dari permasalahan yang diungkap, dilahirkan beberapa keputusan kongres, di antaranya:
- mengirim petisi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan, pada saat bersamaan para perempuan ini juga mendirikan sekolah perempuan;
- menuntut pemerintah memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang undang perkawinan);
- menuntut diterbitkannya peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia;
- mendirikan penggalangan dana untuk beasiswa bagi siswa perempuan yang memiliki prestasi akademis bagus tetapi tidak memiliki biaya pendidikan, lembaga itu disebut studie fonds atau dana beasiswa;
- mendirikan lembaga kursus pemberatasan buta huruf, kursus kesehatan;
- mengaktifkan usaha pencegahan perkawinan kanak-kanak, dan menuntut pemerintah melarang terjadinya perkawinan anak-anak;
- mendirikan lembaga permufakatan dan musyawarah (konsorsium) berbagai perkumpulan perempuan di Indonesia, dalam wadah Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
PPPI bertujuan memberikan informasi dan menjadi mediator berbagai perkumpulan perempuan di dalamnya.
Demikianlah kemudian, tanggal 22 Desember ditetapkan sebagai Hari Ibu oleh pemerintahan Soekarno melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959. Keputusan ini adalah langkah korektif Soekarno atas sudah terlanjurnya ia menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Nasional, sebagai hasil dari protes dan koreksi berbagai pihak. Para penggagas protes tersebut menilai bahwa bukan saja Kartini lebih sebatas sebagai pemberi inspirasi, namun wilayah perjuangannya sangat kecil yaitu di Jepara dan Rembang. Sementara Kongres Perempuan Pertama yang embrio idenya lahir dari terselenggarakannya Kongres Pemuda bulan Oktober, adalah perjuangan kaum perempuan Indonesia di ranah nasional dan berdampak jauh lebih luas.