Ide Menristekdikti mengimpor Rektor bertujuan agar perti-perti Indonesia yang potensial masuk dalam daftar 200 perti terbaik dunia. Itulah yang muncul di media. Tidak ada wacana ide lain. Simaklah kata Mohammad Nasir, Menristekdikti di sni https://www.suara.com/news/2019/08/01/135921/impor-rektor-asing-dibully-menristekdikti-gimana-bisa-masuk-kelas-duniaÂ
Program impor Rektor dengan tujuan seperti itu sendiri menurut Penulis sudah bermasalah. Karena, jika sudah masuk 200 perti terbaik dunia lalu apa dampaknya bagi peningkatan kualitas manusia Indonesia? Tidak ada korelasi langsung antara keduanya.
Tapi Penulis tidak ingin berbicara hal itu. Menjadi masalah adalah, betapa Menristekdikti tampak sekali menyederhanakan masalah pendidikan tinggi dan output - outcomenya. Seoah dengan mengganti Rektor dengan yang berkualitas dari hasil impor - yang masih bisa diperdebatkan juga apakah mereka benar-benar lebih berkualitas dari SDM kita - maka persoalan menjadi selesai. Bimsalabim para alumni perti di Indonesia jadi berkualitas. Tidak semudah itu Pak Menteri. Apakah Anda tidak ingat suasana saat masih jadi Rektor Undip, Semarang?
GIGO: Garbage In Garbage Out
Jika mau keluaran perti kita hebat, maka lingkungan yang mendukung proses pendidikan mulai dari keluarga, dikdasmen 12 tahun, dan pendidikan tinggi wajib secara holistis dibenahi. Contoh konkrit: siswa dikdasmen kita tidak dilatih dan dibiasakan menulis esei sejak dini. Sehingga daya nalarnya rendah. Mereka dibiasakan menghafal. Sangat berlainan dengan para siswa dikdasmen di negara-negara maju, yang sejak klas satu dibiasakan bercerita dan kalau tidak salah mulai klas 4 mulai ditugasi menulis esei tematik.Â
Apa dampaknya? Alumnus klas 12 gamang menulis. Kalau pun menulis narasi yang dibangun tidak sistematis, nalarnya tidak runut.Jika alumni klas 12 yang demikian masuk perti, bagaimana kita bisa berharap keluaran perti berkualitas? Terlebih lagi dunia perti kita pun juga bukan enabling environtment atau lingkungan yang mendukung bagi dihasilkannya alumni berkualitas tinggi.Â
Saya tahu dari tangan pertama, dari sebuah program S2 di perti ternama di kota pendidikan kondhang. Direktur Programnya meminta dosennya untuk menjadi "pabrik tesis" bagi para mahasiswa yang mengejar gelar M.Si karena ingin naik pangkat di instansi masing2. Salahsatu pabrik tesis itu menceritakan kepada saya dengan ringan. Lebih duapuluh tahun sebelum itu saya pun dicritai dengan ringan oleh seorang alumnus perti swasta di kota kecil yang sejuk di Jawa Tengah, bahwa dia sebelum mendapat pekerjaan tetap berbisnis bimbingan skripsi. Bisnis dengan nama itu menurutnya pada dasarnya adalah membuatkan skripsi para mahasiswa S1 dengan berbagai paket layanan.
Saya pun beberapa tahun kemudian melakukan investigasi kecil-kecilan di Yogyakarta dengan menelepon sebuah layanan Bimbingan Skripsi di Jl.Kaliurang, Sleman, tidak jauh dari kampus UGM. Dengan sangat fasih dan tanpa beban sang penerima telpon menjelaskan berbagai paket layanan mereka mulai dari sekedar olah data sampai jaminan ujian skripsi lulus dengan nilai lumayan baik.Â
Dunia Kampus
Apakah dunia kampus perti Indonesia sudah menjadi lingkungan yang mendukung bagi dihasilkannya alumni berkualitas? Bisa iya bisa tidak. Bagaimana sekat-sekat antar fakultas dan antar prodi yang masing-masing membawa semangat egosentriisme yang kental? Apakah kampus perti sudah membuat para pengajarnya nyaman bekerja dan merasa aman status dan pemenuhan kehidupannya?Â
Sudah jamak kita mendengar betapa para dosen di perti lebih banyak menghabiskan waktu dan enerji mereka untuk berperan sebagai Konsultan bagi berbagai proyek maupun perusahaan, daripada memfokuskan diri mereka sebagai pengajar. Matkul-matkul di ruang-ruang kuliah dihantir olehpara Asisten Dosen yang notabene adalah kakak kelas dari para mahasiswa.Â