Tersiar kabar pemerintahan Jokowi akan memberi bantuan senilai Rp 500 juta untuk masing-masing kelima tapol di Papua yang diberi grasi Presiden belum lama ini. Mereka adalah Apotnalogolik Lokobal, Numbungga Telenggen, Kimanus Wenda, Linus Hiluka, dan Jefrai Murib. Kelima tapol ini terbukti bersalah telah membobol gudang senjata milik Kodim di Wamena. Jika benar, ini kabar mengejutkan dan sekaligus bisa menjadi blunder.
Pertimbangan dan Rasa Keadilan
Pertama, justifikasi apa yang membuat kebijakan Presiden memberi hadiah kepada mereka? Apakah kelima ex-tapol itu sudah berjasa besar kepada bangsa Indonesia, atau paling tidak kepada masyarakat dan wilayah Papua? Jika demikian halnya, bagaimana dengan pihak-pihak lain yang juga berjasa besar dan mengangkat nama harum bangsa Indonesia dan masyarakat Papua, seperti keluarga besar Wospakrik misalnya? Ini sekedar misal, karena masih banyak pula pihak lain yang berjasa.
Wospakrik Sr. adalah tokoh pendidikan yang berwawasan jauh ke depan untuk bangsa kita walau saat itu beliau hidup ketika Papua masih dalam wilayah Belanda. Anak-anak beliau menjadi orang yang dikenal di ranah internasional, dan berjasa di bidang masing-masing. Katakanlah misalnya Hans Jakobus Wospakrik, doktor fisika ITB yang diperhitungkan di dunia, atau Frans Wospakrik mantan rektor Universitas Cenderawasih. Kembar putri mereka juga akademisi di UK Satya Wacana dan STT IS Kijne di Abepura. Jelas keluarga besar ini jauh lebih besar jasa mereka daripada kelima tapol Papua penerima grasi tersebut. Output dan outcome karya-karya mereka jauh lebih berdampak positif luas, mendalam, berkelanjutan, dan berorientasi masa depan, daripada mencuri senjata milik negara, sekedar untuk mengibarkan bendera kemerdekaan dan bunuh sana bunuh sini, menyerang siapa saja yang dianggap sebagai lawan.Â
Kedua, hadiah berorientasi karitatif semacam itu saya jamin 100% tidak bermanfaat besar bahkan untuk si penerima hadiah itu sendiri sekali pun. Saya sangat memahami masyarakat Papua. Uang sebesar itu walau diwujudkan dalam bentuk rumah, tanah dan akan ditambah dengan mobil pick-up pula, akan tidak mendatangkan manfaat berarti buat mereka.Â
Ketiga, jika kelima mantan tapol itu diberi hadiah, bagaimana para ET alias Ex-Tapol dari masa lalu yang lebih lama, yang jumlahnya bisa ratusan ribu orang? Dari peristiwa 1965 saja entah berapa ratus ribu orang yang ditahan tanpa Surat Penangkapan, tanpa peradilan, dan begitu saja disiksa, diperkosa, dibunuh, atau dipenjara belasan tahun tanpa ditunjukkan dan dibuktikan di peradilan terbuka apakah mereka telah membuat kesalahan?
Tanggal 23 November 1965 saya dan kakak-kakak saya tidak diberitahu oleh gerombolan penangkap Ibunda kami tentang ke mana beliau dibawa dan ditahan oleh sebab yang tidak pernah ada. Demikian juga ketika kakak sulung kami beberapa bulan sebelumnya dibawa dari UGM oleh sejenis gerombolan yang sama dan entah dibawa ke mana dan disiksa macam apa. Untung saja 14 tahun kemudian ketika dibebaskan mereka masih hidup! Dan sesudah itu mereka berdua berusaha keras hidup mandiri tanpa mengemis ke sana kemari.Â
Apakah kepada Ibunda dan kakak kami beserta ratusan ribu eks-tapol 1965 serta eks-tapol dari peristiwa politik lain, Jokowi akan memberi sejumlah uang juga? Jika iya maka seharusnya jumlah yang diberikan jauh lebih banyak, karena hak kebebasan eks-tapol 1965 khususnya, telah dirampas dengan semena-mena tanpa satu dokumen pun diberikan, apalagi proses peradilan! Sedangkan kelima tapol di Papua tersebut sudah melalui proses peradilan, diberi hak didampingi Pembela, terbukti bersalah, dan mereka memohon grasi pula, lalu sudah pula diberi grasi. Berarti mereka telah mengakui kesalahan mereka, dan sudah mendapat hadiah grasi. Terlebih bagi yang sakit, pemerintahan Jokowi juga membiayai seluruh biaya pengobatan dengan perawatan prima di Jakarta. Seperti belum cukup juga, keluarga mereka juga ditopang kehidupannya dengan santunan. Mengapa kini harus ditambah dengan hadiah senilai Rp 500juta pula?
Di sini bukan saja rasa keadilan kita terganggu, namun kita patut menduga bahwa pemerintahan Jokowi sedang memainkan permainan "none of free lunch" yang tidak tepat sasaran.
Â
Bisa Menjadi Blunder Politik