Sang Fenomenal
Ahok memang fenomenal untuk ukuran budaya bangsa Indonesia pada umumnya. Kefenomenalannya bukan sekedar fenomenal, namun bisa menjadi tonggak kemajuan budaya dan karakter bangsa bervisi menjadi menjadi bangsa yang bermartabat, dihormati dan dihargai di ranah internasional, bukan jago kandang. Dialah ikon yang menjadi representasi karakter budaya baru bangsa Indonesia. Dan pemilik visi budaya bangsa besar adalah generasi muda. Generasi dengan populasi terbesar bangsa Indonesia sampai dengan 2050.
Banyak pihak mengatakan dan setuju bahwa Ahok adalah pemimpin yang baik, namun tidak sedikit yang memberi tambahan anak kalimat: sayang Ahok sering bicara kasar, bicara keras di depan umum. Itulah kemudian yang sering dipergunakan oleh musuh-musuh Ahok untuk “nembak” dia: bahwa Gubernur tidak punya etika, bahwa dia tidak pantas menjadi pejabat publik. Bahkan Jokowi pernah bilang, bahwa Ahok perlu mengurangi kadar marah-marahnya.
Apakah itu benar-benar menjadi isu kefenomenalan Ahok sebagai pemimpin? Atau itu merupakan orkestrasi berjemaah secara tak sadar untuk menolak pemimpin yang bersih, jujur, transparan, tegas, bicara apa adanya, karena yang sebaliknya dari semua kriteria pemimpin itu sudah menjadi kelaziman sejak jaman pra-modern berbagai bangsa di Nusantara? Kita tentu masih ingat, bahwa karakter Werkudara (Bima) bukan karakter ideal bagi kebanyakan bangsa Indonesia. Perhatikan cuplikan video di tautan ini. Semoga saat kalian membaca artikel ini, tautan itu masih belum dihapus dari YouTube.
http://www.youtube.com/watch?v=xDKV1M2R-cQ&feature=youtube_gdata_player
Perhatikan video tersebut. Itu adalah kegiatan mediasi yang dilakukan Kemendagri menanggapi kisruh pembahasan RAPBD DKI 2015, yang dilakukan di Kantor Kemendagri pada tanggal 5 Maret 2015. Ahok meminta Walikota Jakarta Barat untuk memberi penjelasan, siapa yang mengusulkan berbagai anggaran tambahan di RAPBD DKI, di luar sistem pembahasan Musrenbang berjenjang mulai dari Kelurahan sampai tingkat Provinsi. Ketika Walikota Jakbar ragu-ragu dan takut berbicara, Ahok marah dan mendesak.
Sikap mendesak dan marah Ahok kepada anak buahnya itu dimanfaatkan DPRD DKI untuk “nembak” sang Gubernur. Dengan dipimpin Lulung, DPRD mengata-ngatai Ahok dengan umpatan-umpatan kasar termasuk memaki dengan umpatan “anjing!”.
Peristiwa Budaya
Peristiwa 5 Maret 2015 adalah peristiwa budaya bangsa. Ahok menjadi tokoh utamanya, sekaligus sebagai budayawannya. Dia membawa budaya baru: transparansi/keterbukaan, keterusterangan, blakblakan, ketegasan, kejujuran. Dia berhadapan dengan bangsa yang membangun secara masif budaya ketertutupan, budaya kasak-kusuk/gosip, ketidakjelasan kebijakan alias tidak tegas, kemunafikan.
Sudah menjadi kelaziman dan menjadi semakin masif sejak jaman Reformasi, eksekutif dan legislatip secara berjemaah menggerogoti uang rakyat melalui kasak-kusuk penganggaran di APBN dan APBD. Kedua pihak tahu sama tahu dan saling main mata, karena kedua-duanya membutuhkan dana untuk “balik modal” dan juga untuk setoran ke parpol masing-masing.
Menjadi lain adalah yang terjadi di Provinsi DKI. Ahok tidak sudi kasak-kusuk, tidak mau main mata dengan legislatip. Dia mendedikasikan jabatannya untuk rakyat, sebagaimana amanat ayahandanya. Dalam budaya Tionghoa yang kental, petuah ayah layaknya perintah dewa.
Menghadapi fenomena ini, pihak legislatip bermain kasak-kusuk dengan anak buah Ahok di berbagai SKPD yang tersebar di lima wilayah Kota dan Kabupaten. Di depan forum terbuka 5 Maret 2015 itulah Ahok bermaksud memberi penjelasan tentang dugaan adanya kasak-kusuk itu alias membuka borok tersebut. DPRD DKI menjadi panik dan menembak Ahok dengan isu etika publik sebagai pejabat negara.
Secara berjemaah bangsa Indonesia berusaha meyakinkan kita tentang ideal budaya dan etika seorang pejabat publik. Seorang pemimpin dianggap ideal jika dia mampu merangkul semua pihak, mampu berkomunikasi santun, halus dalam bertutur dengan memanfaatkan simbol-simbol, mampu menyembunyikan kemarahan di depan publik. Bukankah Gubernur DIY pernah dipuji karena bila marah dia berdiam diri? Sebaliknya kita diajar untuk menghindar dari sikap terus terang, terbuka, transparan, menunjukkan kemarahan di depan publik.
Menjadi masalah adalah bahwa kriteria atau acuan ideal budaya tersebut adalah budaya Jawa. Bangunan budaya yang satu ini (saya suku Jawa!) berorientasi dasar pada penyembunyian. Orang luar tidak boleh melihat dapur kita. Sehingga transparansi, keterbukaan, keterusterangan, kejujuran, otokritik, bicara apa adanya sebagaimana apa yang kita pikirkan dan rasakan, adalah tabu. Terlebih untuk pejabat publik. Sehingga tidak mengherankan jika Bima (Werkudara) bukanlah tipe pemimpin ideal bagi bangsa Indonesia yang Jawa-sentris ini.
Ahok Pemimpin Masa Depan
Ahok hadir di tengah budaya yang secara masif membawa ide semacam itu. Dia seolah menjadi lain seorang diri. Tetapi apakah dia terasing? Tidak! Tengoklah, dia mendapat dukungan luas. Siapa pendukung utama mereka? Generasi muda!
Tidak mengherankan jika generasi muda mendukung Ahok. Gejala ini menjadi pembenar bahwa generasi muda sudah jengah dengan perilaku kotor generasi yang lebih tua, yang sudah terbangun sejak puluhan atau bahkan ratusan tahun. Generasi muda, baik yang di kota maupun di perdesaan, secara umum lebih memiliki kesempatan mengenyam pendidikan formal dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Mereka menjadi lapis masyarakat yang lebih terbuka, transparan, berbicara apa adanya. Di niche inilah Ahok berhasil menjadi ikon. Dia merespresentasikan sifat dan sikap generasi muda yang sudah jengah.
Ahok lihay memanfaatkan dan menempatkan diri di niche itu. Mengapa? Karena generasi muda, mulai tahun 2015 ini adalah generasi emas bagi bangsa Indonesia. Mereka adalah populasi dengan jumlah terbesar di Indonesia sampai dengan tahun 2050. Kecuali itu tingkat pendidikan formal mereka secara rata-rata jauh lebih baik dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Relasi internasional mereka juga jauh lebih luas, memiliki jaringan luas di seluruh dunia. Generasi muda fasih dalam menguasai iptek, teristimewa teknologi informasi dan telekomunikasi. Bagi mereka, wilayah teritorial bukan lagi batas berarti. Mereka lintas batas, bahkan mungkin tak mengenal batas.
Jika memahami kancah kehidupan antar-bangsa yang demikian, dan pada saat bersamaan kondisi kekayaan SDA dan SDM bangsa Indonesia, menjadi sangat penting bangsa ini mau dan mampu berubah. Jargon revolusi mental sudah benar, namun itu akan sekedar menjadi jargon yang tidak bermakna jika tidak ditunjukkan dengan keberanian untuk benar-benar ber-revolusi. Ahok adalah contoh konkrit pemimpin yang mau dan mampu ber-revolusi mental. Dialah calon pemimpin masa depan bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H