Mohon tunggu...
Bang Hafidz
Bang Hafidz Mohon Tunggu... profesional -

Pria yang suka disapa dengan sebutan "Abang" ini, terlibat aktif dalam pengujian beberapa undang-undang sejak tahun 2008 di Mahkamah Konstitusi, diantaranya UU Kepailitan dan PKPU, UU Ketenagakerjaan, UU Jaminan Sosial Tenaga Kerja, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Anggaran Pengeluaran Belanja Negara Perubahan Tahun 2012 dan terakhir UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Selain itu, juga turut menjadi tim perumus naskah permohonan dalam pengujian UU Partai Politik, UU Penempatan Tenaga Kerja Indonesia, UU Ketenagalistrikan dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Di Balik Rendahnya Kepesertaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja

19 September 2013   08:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:41 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menelisik program Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK) sejak tahun 1977 hingga tahun 1992 dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) sejak tahun 1993 hingga tahun 2013, maka dapat kita simpulkan sementara bahwa timpangnya jumlah kepesertaan dengan tenaga kerja formal, merupakan masalah utama dalam mewujudkan jaminan sosial bagi seluruh pekerja di Indonesia.

Sampai tahun 1987, peserta ASTEK hanya sekitar 2,9 juta dari 27,8 juta pekerja atau tidak lebih dari 12% dari jumlah buruh seluruhnya. Hingga Oktober 2012, peserta Jamsostek hanya 11,3 juta dari 38 juta pekerja atau tidak kurang dari 30% jumlah pekerja di Indonesia. Sehingga, kepesertaan Jaminan Sosial bagi buruh di Indonesia yang ada sejak tahun 1977, tidak mampu merekrut seluruh pekerja di Indonesia. Apa penyebabnya?

Pada dasarnya, jaminan sosial merupakan hak dasar setiap rakyat, termasuk pekerja/buruh sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan : “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.

Namun, hak pekerja/buruh untuk mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja yang memberikan perlindungan atas kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia, hanya didapatkan apabila pengusaha tempat pekerja/buruh bekerja, mendaftarkan pekerja/buruh tersebut ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) PP No. 33/1977, Pasal 4 ayat (1) UU 3/1992, Pasal 13 ayat (1) UU 40/2004 dan Pasal 15 ayat (1) UU 24/2011.

Sehingga, jika pengusaha tempat pekerja/buruh bekerja, tidak mendaftarkan pekerja/buruh tersebut ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, maka pekerja/buruh yang bersangkutan tidak mendapatkan perlindungan atas kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua dan meninggal dunia.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-IX/2011 tanggal 8 Agustus 2012 dan Putusan No. 82/PUU-X/2012 tanggal 15 Oktober 2012, ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU 3/1992, Pasal 13 ayat (1) UU 40/2004 dan Pasal 15 ayat (1) UU 24/2011 bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, jika meniadakan hak pekerja untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan perusahaan apabila perusahaan telah nyata-nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada penyelenggara jaminan sosial, sehingga pekerja berhak mendaftarkan diri sebagai peserta program jaminan sosial atas tanggungan perusahaan apabila perusahaan telah nyata-nyata tidak mendaftarkannya pada penyelenggara jaminan sosial.

Menurut Mahkamah Konstitusi, meskipun ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU 3/1992, Pasal 13 ayat (1) UU 40/2004 dan Pasal 15 ayat (1) UU 24/2011, sudah secara tegas membebankan kewajiban kepada perusahaan dan pemberi kerja untuk mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti, akan tetapi belum menjamin adanya hak pekerja atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Apabila perusahaan atau pemberi kerja tidak mendaftarkan diri dan tidak pula mendaftarkan pekerjanya untuk mendapatkan jaminan sosial tenaga kerja kepada penyelenggara sistem jaminan sosial, dengan memenuhi kewajiban membayar iurannya, maka pekerja tidak akan mendapatkan hak-haknya yang dijamin dalam UUD 1945. Oleh karena Undang-undang hanya memberikan kewajiban kepada perusahaan atau pemberi kerja untuk mendaftarkan diri dan pekerjanya, padahal pada kenyataannya, walaupun Undang-undang tersebut memberikan sanksi pidana, masih banyak perusahaan yang enggan melakukannya maka banyak pula pekerja yang kehilangan hak-haknya atas jaminan sosial yang dilindungi konstitusi.

Walaupun ada sanksi pidana atas kelalaian perusahaan atau pemberi kerja mendaftarkan keikutsertaan pekerjanya dalam jaminan sosial, akan tetapi hal tersebut hanya untuk memberi sanksi pidana bagi perusahaan atau pemberi kerja, sedangkan hak-hak pekerja atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, belum diperoleh. Terlebih lagi, untuk perlindungan, pemajuan, dan penegakan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah, maka sudah seharusnya negara melalui peraturan perundang-undangan memberikan jaminan ditegakkannya kewajiban tersebut sehingga hak-hak pekerja dapat terpenuhi.

Namun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, lahir Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 20 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per-12/Men/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang mensyaratkan pendaftaran pekerja/buruh secara sendiri, yaitu :



- pekerja/buruh yang bersangkutan melaporkan secara tertulis kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota setempat dengan tembusan kepada Badan Penyelenggara setempat, bahwa dirinya belum diikutsertakan dalam program jaminan sosial tenaga kerja.

- mengisi formulir yang disediakan oleh Badan Penyelenggara dengan melampirkan :

o bukti diri sebagai pekerja/buruh aktif pada perusahaan;

o perjanjian kerja atau surat keputusan pengangkatan;

o kartu tanda penduduk; dan

o kartu keluarga.

Syarat yang diatur dalam Permenakertrans 20/2012, terkesan memberatkan pekerja/buruh, diantaranya adalah bukti diri sebagai pekerja/buruh dari perusahaan dan perjanjian kerja atau surat keputusan pengangkatan yang menyatakan masih aktif bekerja, syarat ini menjadi berat bagi pekerja/buruh, karena tidak semua pengusaha mau memberikan bukti diri dan perjanjian kerja atau surat pengangkatan, bahkan terkadang tidak sedikit pengusaha yang tidak bersedia memberikan tanda bukti pembayaran upah.

Sehingga harapan untuk mendapatkan manfaat atas jaminan sosial bagi pekerja/buruh menjadi terhalang, walaupun telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Ditambah dengan aturan bagi Badan Penyelenggara yang boleh menerbitkan kartu kepesertaan program jaminan sosial tenaga kerja setelah pengusaha membayar iuran secara lunas bagi tenaga kerja yang bersangkutan.

Justru persoalannya adalah pengusaha tidak mempunyai keinginan untuk mendaftarkan pekerja/buruhnya ke dalam program jaminan sosial, karena tidak mau membayar iuran yang menjadi kewajiban pengusaha, sehingga pengusaha harus dipaksa untuk membayar tapi bukan oleh pekerja/buruh yang memaksanya melainkan badan penyelenggara/pemerintah. Jika, pekerja/buruh yang memaksa pengusaha, maka akan terjadi sengketa hubungan industrial yang berkepanjangan dan berpotensi terjadinya pemutusan hubungan kerja.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun