Apa yang terjadi pada malam 16 Maret 2017 lalu di angkasa dekat perbatasan Jordania-Suriah-Israel? Pasti semua sudah tahu bahwa sistim pertahanan udara Israel disebut-sebut berhasil menangkis serangan udara misil jarak menengah S-200 --juga dikenal sebagai SA-5 Gammon-- Syrian Air Defense Forces (SADF) yang mencoba melumpuhkan 1 dari 4 unit jet tempur F-16 angaktan udara Israel (IAF).
Informasi pihak Suriah dan Rusia bahwa salah satu S-200 berhasil melumpuhkan salah satu F-16. Di sisi lain pihak Israel menolak klaim Suriah, mereka mengatakan seluruh jet IAF selamat kembali di sebuah pangkalan militer dekat danau atau laut Galile. Menurut versi Israel, bahkan yang terjadi adalah salah satu S-200 berhasil "dijinakkan" oleh interseptor Arrow sebagaimana disebutkan di atas.
Sang pencegat yang digembar-gemborkan berhasil membuat S-200 tak berkutik adalah misil permukaan ke udara, surface-to-air missile (SAM) ataujuga disebut dengan ground-to-air missile (GTAM) Arrow-3 "Inteceptor" buatan Israel Aircraft Industries (IAI) berkolaborasi dengan AS.
Konon sistim anti misil ini baru pertama sekali digunakan mencegat ancaman terhadap Israel sejak dipasang sebagai salah satu program The Iron Dome sistim pertahanan udara Israel untuk mencegat seluruh ancaman serangan udara dan misil atau rudal akan menghujam ke Israel.
Sejak masuk ke jajaran sistim pertahanan udara Israel pada 2015 --setelah menjalani serangkaian uji coba dan penyempurnaan sejak 2013-- Arrow-3 berharga 2,2 juta USD (menurut info Foxnews edisi 17/3/2017) baru pertama sekali memperlihatkan "keperkasaannya" dihadapan umum meski selama uji coba sukses menjalankan peranan sesuai skenario uji coba.
Sejak "keberhasilan" tersebut bagaikan magnit sang Arrow mampu membuat decak kagum dunia militer. Di sisi lain keberhasilan digembar-gemborkan media barat dan Israel atas ketangguhan sang Arrow mulai membangkitkan rasa ingin tahu dan memiliki sejumlah negara untuk memiliki misil anti misil tersebut meski harganya sangat mahal, sekitar 28 miliar rupiah saja satu unit misil belum termasuk baterai pelontarnya.
Israel tak gentar dengan reaksi SADF. PM Israel Benyamin Netanyahu sesumbar akan melumpuhkan sistem pertahanan Suriah jika masih mencoba mengancam pesawat tempur mereka.
Sementara itu sebagaimana dijelaskan pada tulisan sebelumnya di Kompasiana (edisi 19/9/2017) Menteri Luar negeri Israel Avigdor Liberman mengancam akan merusak sistim pertahanan Suriah jika ke depan masih mencoba menembak jatuh pesawat angkatan udara Israel. Dia menjelaskan Israel tidak punya keinginan untuk intervensi Suriah, juga tidak ada niat menggulingkan Assad bahkan tak ada niat konflik dengan Rusia. Namun Israel akan merusak sistim pertahanan Suriah apabila Suriah mengancam pesawat tempur Israel.
Tidak lama, berselang 6 hari kemudian israel mewujudkan ancamannya. IAU kembali menyerang Suriah dan posisinya lagi-lagi di kawasan Palmyra sebuah kawasan stategis sedang diperjuangkan pasukan khusus Rusia dan SAA di kota sarat dengan budaya dan sejarah dunia "tempo doeloe" yang baru saja direbut untuk ke 2 kali dari tangan ISIS.
Kali ini SADF tidak membuktikan janjinya meski diserang kembali untuk ke 49 kali sejak 2013 oleh militer Israel. Entah karena telah diingatkan Rusia agar SAA tidak memperlebar dan memperbanyak zona konfrontasi ketika sedang fokus memadamkan api pemberontakan FSA, ISIS dan invasi Turki atau mungkin karena merasa tidak akan mampu mengungguli kemampuan militer Israel, faktanya militer Suriah tidak menembakkan satu pun misil mereka ke arah jet tempur Israel pada serangan pada 23 Maret 2017 lalu.
Baru kemudian dua hari setelah itu tepatnya pada 25 Maret 2017 pihak militer Suriah mulai gerah kembali dan kali ini mereka akan menggunakan peluru kendali atau rudal Scud. Koran Lebanon, Al-Diyar pertama sekali melaporkan hal tersebut. Melalui perantara Rusia militer Suriah mengirim pesan untuk Israel bahwa Suriah akan menembakkan rudak Scud ke wilayah Israel jika serangan Israel masih berlanjut.