Mohon tunggu...
Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Mohon Tunggu... Wiraswasta - “Besar, ternyata ada yang lebih besar, sangat besar, terbesar, super besar, mega besar dan maha besar.”

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pantaskah Ganjar Pranowo Diganjar Cowboy?

2 Mei 2014   03:16 Diperbarui: 14 November 2019   19:28 2622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tidak terima melihat langsung aparatur di dalam jajaran pemerintahannya menerima amplop suap dari pengemudi truk di meja petugas jembatan timbang kontan saja Gubernur Jawa tengah, Ganjar Pranowo marah besar dan menegur keras bercampur emosi tak tertahankan anak buahnya.

Aksi orang nomor satu di Provinsi Jateng itupun menjadi pemberitaan dan sorotan hangat di berbagai media massa cetak dan elektronik. Terlebih lagi ternyata CCTV yang berada di ruangan kantor jembatan timbang tersebut merekam adegan tersebut dengan sistematis dan dikendalikan oleh operatornya mengikuti kemana saja langkah Ganjar berpindah-pindah tempat bersuara lantang terbakar emosi. Rekaman CCTV itupun kini merambah bebas kemana-mana.

Sorotan media massa tersebut bahkan tidak kepalang tanggung. Metro TV (30/4) pukul 17.00 mengganjar peristiwa tersebut dengan perumpamaan "Cowboy" tokoh berani, keras dan sadis dalam film klasik, Bonanza Amerika misalnya.

Pantaskah Ganjar mendapat ganjaran predikat tersebut? Tentu saja setiap orang memperoleh kebebasan berpendapat dalam konstelasi demokrasi. Sama halnya dengan pihak-pihak yang sependapat dengan menilai wajar Ganjar memperoleh predikat Cowboy maka tentu saja ada pihak lain yang sah-sah saja (wajar) mengatakan predikat itu tidak wajar.

Salah satu yang menolak sebutan Cowboy untuk Ganjar adalah Efendi Gazali, salah satu tokoh terkenal dalam politik dan hukum yang ikut serta menjadi salah satu tamu bersama Ganjar pada acara tersebut.

Efendi Gazali meski menilai sikap tersebut memang tidak perlu berlebihan akan tetapi menilai pemberitan tema berita dengan tajuk "Pejabat Bergaya Cowboy" tidak pantas.

Sekadar perbandingan, berikut ini terdapat beberapa kasus pejabat publik yang tersulut emosinya karena berbagai sebab, yaitu :

  • Pada 20 Maret 2012, pagi-pagi sekitar puku; 06.10 di lintasan pintu tol Semanggi menuju Slipi, Dahlan Iskan yang pada saat itu kepepet harus segera tiba dikantor maskapai Garuda untuk memimpin rapat di sana, tiba-tiba naik pitam melihat loket kosong dan menyebabkan antrian panjang di pintu tol tersebut. Turun dari mobilnya ia berjalan kaki beberapa meter ke arah loket dan tidak melihat petugas di sana. Alhasil, dua kursi petugas yang  berada dalam loket satu dan loket dua "melayang" ke arah aspal sekitar kantor pintu tol. Dahlan emosi, tak sanggup melihat kenyataan lemahnya disiplin petugas tol sehingga membuat pengguna jasa tol kecewa.
  • Masih ada tokoh lainnya. Lihatlah Abraham Samad, bagaimana ia harus mengepal jari kanannya dan menghujamkan ke arah meja ketika pada 23/1/2012 harus memukul meja dan membanting kursi akibat terjadi perbedaan pendapat dalam menetapkan status Anas menjadi tersangka. Meski kondisi itu dipanas-panasi oleh beberapa politkus sebagai tanda perpecahan dalam tubuh KPK nyatanya KPK tetap solid sampai kini dan telah menetapkan Anas sebagai salah satu tersangka dalam perkara Korupsi. Abraham Samad tetap eksis dan komit dengan cita-cita dan gayanya dalam memimpin KPK.
  • Kasus-kasus pejabat publik yang emosi terlalu banyak untuk diuraikan satu per satu. Yang jelas di arena DPR pun kita kerap melihat tontonan saling serang dan saling lempar yang diperlihatkan oleh bintang-bintang legeslatif kita misalnya serangan terhadap Marzuki Ali oleh anggota fraksi PDIP karena mengetuk palu skorsing sidang paripurna pada proses pengambilan opsi untuk penyelidikan kasus bailout Bank Century.
  • Lihat juga bagaimana berangnya mantan Gubernur DKI Fauzi Bowo ketika melihat pegawai di beberapa kantor dinasnya masih juga bolos pada hari pertama masuk kerja setelah libur panjang Idul Fitri. Marah bercampur kecewa Fauzi Bowo memberi skorsing beberapa petugasnya di berbagai eselon dan golongan.
  • Masih di dalam negeri. Kita dapat merasakan ketegangan antara mantan presiden RI Megawati dengan Presiden SBY hingga saat ini. Berkali-kali ibu Mega tak mampu menahan emosi melihat manuver-manuver politik dan pemerintahan SBY yang menurut penilaian bu Mega (entah dari sudut pandang apa) tidak memuaskan Megawati.
  • Lihat juga pejabat pemberani sekelas Joko Widodo dan Ahok yang terkenal vokal dan reaktif jika menemukan sesuatu yang tidak sesuai dengan program pemerintahan DKI. Mereka sangat memahami atuaran harus harus ditegakkan dengan tegas dan bila perlu marah.

Mungkin beberapa contoh di atas kurang relevan dengan ranah masalah yang dihadapi oleh sejumlah gubernur dan kepala daerah di sejumlah daerah di tanah air tatkala melihat bawahannya tidak berkerja disiplin dan profesional. Tapi, meski berbeda ranahnya tapi intinya tetap sama yaitu marahnya pimpinan akibat melihat kenyataan bawahannya tidak bekerja sesuai dengan visi dan misi kepala daerah yang dituangkan dalam nota kesepakatan yang kini dikenal dengan sebutan "Akte Kesepakatan" saat melantik pejabat di tingkat provinsi.

Marahnya pimpinan tentu ada sebabnya. Selain akibat fenomena kontra produktif dengan nota kesepakatan juga disebabkan oleh pegawai yang tidak memiliki persepsi yang sama tentang fungsi dan peranannya sebagai pegawai pada bidangnya, terlebih lagi adalah akibat melanggar tatatertib dan aturan.

Jika karena itu sang pemimpin menggelak emosinya akibat terbakar marah tak tertahankan (kecuali memukul) apakah hal itu lantas menyudutkan sang pemimpin dan membunuh karakternya dan kemudian layu dan "mati" pelan-pelan akibat harus menjadi orang lain dalam memimpin?

Intinya hukum dan aturan harus ditegakkan dengan tegas, karena hukum itu sifatnya mengikat dan memaksa. Apalagi dalam komunitas yang tidak patuh dengan hukum, maka konsitensi seorang pimpinan dalam penegakan hukum harus tegas dan keras.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun