Informasi terkini dari arena pertempuran di Suriah memperlihatkan hubungan AS dan Rusia berada pada jurang perbedaan semakin dalam setelah beberapa jam lalu Minggu (9/10/2016) Rusia memveto draft resolusi PBB tentang penghentian pemboman terhadap Aleppo dan tuduhan pada Rusia (Putin) telah melakukan Aksi Kekejaman atau kejahatan perang terhadap warga Suriah.
Di sisi lain dalam hal ini, rekan "kepentingan abadi" China kali ini memilih abstain, sikap itu sudah cukup untuk menggagalkan resolusi draft tersebut.
Beberapa hari sebelum sidang Dewan Keamanan PBB muncul ancaman AS akan menggunakan kekerasan militer berupa penggunaan misil dan serangan udara terbatas terhadap pasukan SAA dan afiliasinya akan tetapi ancaman AS kian jelas setelah melihat sikap Rusia pada hari ini memveto resolusi PBB. AS kemungkinan besar akan menggunakan misil dan serangan tertutup dan terbatas terhadap posisi SAA sebagaimana disebutkan oleh salah satu pejabat (tidak disebutkan identitas) di Pentagon pada sumber aawsat.com
Jika mengacu pada kriteria di atas tertutup dan terbatas kemungkinan besar AS akan menggunakan serangan udara berteknologi lebih tinggi untuk menumpas atau melemahkan posisi SAA setelah melihat sikap Rusia bersumpah akan melindungi tentara rezim Assad dari serangan udara AS.
Meski mengancam sayangnya Rusia tidak gentar sedikitpun. Rusia balik ancam akan menembak jatuh pesawat AS jika menyerang pasukan SAA dan mengancam posisi dan keamanan Rusia di Suriah.
AS tidak akan menggunakan misil Tomahawk atau Trident yang diluncurkan dari kapal AL AS sebab aksi itu dapat terdeteksi. Jika AS mewujudkan rencananya maka aksi itu akan menggunakan pesawat tempur kelas "papan atas" yang mampu terbang lebih tinggi namun sanggup berkelebat cepat menghindari misil anti serangan udara lawan, termasuk ancaman Rusia saat ini.
Tak salah lagi, AS akan menggunakan mesin perang teknologi tinggi berupa F-22, F- dan B-2 Stealth sang siluman pembawa misil maut dan bom bunker Buster raksasa. AS mengatakan dalam waktu dekat dan akan melumat pasukan SAA seperti peristiwa 15 September lalu ketika pesawat koalisi AS membombardir posisi SAA sedang bertempur melawan ISIS di zona Deir Ezzor sehingga menewaskan seketika 62 pasukan SAA dan melukai ratusan pasukan SAA lainnya.
Aksi AS terhadap SAA seperti itu telah membuat Rusia sangat geram. Sejak itu kesepakaan damai dirilis secara marathon Kerry dan Lavrov kandas dalam waktu seminggu. Dampaknya aksi sama serangan udara Rusia makin gencar dan ganas terhadap pemberontak membuat posisi SAA kembali leading di Aleppo dan lokasi lainnya di berbagai fron Suriah.
Entah akibat perkembangan diraih SAA dukungan Rusia sangat signifikan seperti itu membuat barat dan sejumlah negara Arab tak kalah gerah dan geram lantas mengeluarkan ultimatum maut, tak jelas betul sebabnya. Tapi tampak jelas, ultimatum maut barat seperti itu terjadi setelah adanya perkembangan signifikan diraih SAA dukungan Rusia dan Iran. Di sisi lain posisi aliansi pemberontak Surih dalam payung FSA sedang sedikit labil akibat korban jiwa semakin banyak. Suplai amunisi senjata andalan seperti TOW, Manpad, Grad semakin menipis. Sementava itu pertikaian internal sedang terjadi di tubuh FSA dalam bulan ini membuat pasukan SAA mendapat keuntungan.
Kembali ke inti masalah. Jika AS menggunakan jenis pesawat penebar maut massal seperti itu apakah Rusia mampu menjatuhkan pesawat AS sekaligus melindungi setiap ancaman serius terhadap SAA dan posisi kepentingan Rusia di Suriah?
Intelijen Rusia melihat AS akan serius dengan ancaman mautnya, mengharuskan Rusia mengambil sikap sangat cepat meski mungkin kurang tepat yakni menambah kekuatan sistim pertahanan udara Rusia di seluruh Suriah termasuk upaya mengamankan posisi SAA dari bentuk serangan udara berpotensi membahayakan SAA dan afiliasinya serta keamanan Rusia sendiri.