Sabtu (2/1/2016) pemerintah Saudi Arabia (KSA) telah melaksanakan eksekusi hukuman mati terbesar dalam sejarah pelaksanaan hukuman mati pancung (penggal kepala) dalam sehari, sejak 1980. Otoritas KSA telah melaksanakan hukuman mati terhadap 47 orang yang dituduh terlibat tindakan kriminal dan terorisme berkomplot dengan Al-Qaeda di 12 kota dalam 5 tahun terakhir. Salah satu yang menjalani hukuman pancung adalah ulama terkemuka Syiah, Sheikh Nimr Baqir al-Nimr.
Putusan pengadilan Riyadh's Specialised Criminal Court pada 15 Oktober 2014 lalu menyebutkan Nimir sejak 2006 Nimr merencanakan aksi Arab Springs di KSA berupa aksi makar, penghasutan dan menjadi pemimpin protes paling vokal dalam upaya menggoyang sistim monarki kerajaan Arab Saudi.
Pada 2012, Nimr pernah terluka ditembak polisi Saudi saat memimpin demontrasi anti kekerasan di provinsi bagian timur khususnya di Ash-Sharqiyyah lalu dipenjarakan dan divonis hukuman mati yang terlaksana pada Sabtu 2 Januari 2016 lalu.
Reaksi atas eksekusi pancung terhadap 47 tahanan tersebut telah menuai perhatian penggiat hak asasi manusia di seluruh dunia. Sama dengan beberapa peristiwa pelaksananaan (eksekusi) hukuman mati di setiap negara, kali ini reaksi keras bermunculan di seluruh dunia.
Reaksi keras bermunculan dari kelompok Syiah baik di KSA maupun Iran sendiri hingga di beberapa negara yang banyak terdpat komunitas Syiah. Dari Irak, Bahrain hingga Kashmir melakukan aksi protes keras terhadap Saudi Arabia terutama aksi eksekusi dalam sehari yang mencengangkan, mencapai 47 korban jiwa dalam sehari.
Kondisi tersebut kini menuai reaksi dan perbincangan hangat di PBB dan mengaitkan posisi KSA sebagai salah satu anggota penting dalam dewan UNHCR PBB dengan isu HAM terkait masih terjadinya hukuman mati massal dalam sehari mencapai angka fantastis terlebih lagi diperkirakan KSA akan mengeksekusi lebih 100 tahanan. KSA juga disayagkan menangkap seorang remaja (berusia 15 tahun saat ditangkap pada 2012) Abdullah Al-Zaher, ia termasuk dalam korban eksekusi kemarin.
Sarah Lea Wiltson, direktur HAM untuk Timur Tengah menanggapi hal tersebut pada Reuters kemarin, "Terlepas dari kejahatan yang diakukan oleh penjahat, pelaksanaan hukuman mati massal tersebut hanya akan menambah catatan noda hitam hak asasi manusia dan menganggu Arab Saudi saja," katanya.
Di Iran sendiri, ribuan orang melakukan anarkis di kedutaan besar (kedubes) Arab Saudi di Teheran. Massa yang tak terbendung menerobos dan membakar gedung kedubes KSA hingga meninggalkan kehancuran besar.
Peristiwa saat ini meski tidak menimbulkan korban jiwa mengingatkan aksi serangan terhadap kedubes AS masa pemerintahan Presiden Jimmy Carter. Gedung kedubes AS di teheran juga pernah diserang lalu diduduki mahasiswa dan pelajar Iran sejak 4 Nopember 1979 hingga 20 Januari 1981 menyebabkan 9 orang tewas termasuk 8 warga AS di dalamnya.
Saudi Arabia tidak tinggal diam. Hussein Sadiqi, Dubes Iran di Riyadh dn rombongan Iran diminta untuk meninggalkan negeri tersebut dalam tempo 24 jam. KSA menjamin keselamatan utusan Iran dalam waktu 24 jam sebut Menlu Arab Saudi.
Sementara itu juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Mansor al-Turki menanggapi sorotan luar negeri atas sistem hukuman di negaranya dengan tenang. "Kerajaan melaksanakan hukum syariatnya dan menolak campur tangan negara manapun dalam sistem peradilan kita," katanya sekaligus menambahkan terorisme sama bahanya dengan korupsi yang dapat mengacaukan negara (Kerajaan).